Media Israel Akui, Hamas tak Mungkin Dilenyapkan di Gaza

Tujuan Israel menumpas Hamas tak tercapai setelah 15 bulan genosida.

AP Photo/Abed Hajjar
Pejuang Hamas mengawal kendaraan Palang Merah untuk mengumpulkan sandera Israel yang dibebaskan di Kota Gaza Ahad , 19 Januari 2025.
Rep: A Syalabi Ikhsan Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Sejumlah media Israel dan para pakar akhirnya mengakui bahwa kelompok Hamas terlalu kuat untuk dilenyapkan dari Gaza. Hamas juga diyakini  tetap menjadi satu-satunya otoritas yang mampu memerintah Jalur Gaza, bahkan setelah perang selama 15 bulan.

Baca Juga


Channel 12 Israel mengakui kegagalan Israel dalam mencapai tujuan perangnya, termasuk mencegah Hamas memerintah atau kembali berkuasa di Gaza. “Kemarin kita melihat bahwa Hamas masih memiliki kemampuan ini,” merujuk pada adegan kemunculan Brigade al-Qassam Hamas di tengah masyarakat saat menyerahkan tiga tahanan perempuan Israel ke Komite Palang Merah Internasional (ICRC) sebagai bagian dari perjanjian pertukaran tahanan gencatan senjata.

Channel 12 menekankan bahwa tidak ada kekuatan lain di Gaza yang memiliki kemampuan sebanding, sehingga memungkinkan Hamas untuk menegaskan kembali dirinya dan membatasi kapasitas operasional militer Israel.

Dalam konteks terkait, saluran tersebut memperkirakan bahwa Israel tidak mungkin melanjutkan pertempuran di Gaza. Ini karena perlawanan Palestina memiliki kemampuan untuk berperang tanpa batas waktu dan mampu terus merekrut individu.

Demikian pula, Amos Harel, analis urusan militer untuk surat kabar Israel Haaretz, mengomentari adegan ratusan anggota Brigade al-Qassam hanya beberapa kilometer dari tempat pasukan pendudukan Israel ditempatkan. Harel mengatakan bahwa Hamas “menunjukkan kekuatan dan tanda-tanda militernya serta menjalankan pemerintahan sipil."

Sementara itu, koresponden militer Channel 12, Lilach Shoval, mencatat bahwa perjanjian gencatan senjata di Gaza tidak menjamin tercapainya dua tujuan yang telah ditetapkan Israel: melenyapkan Hamas dan membebaskan para tawanan.

Sebuah jajak pendapat yang diterbitkan oleh surat kabar Israel Maariv mengungkapkan bahwa hanya 8 persen warga Israel yang percaya bahwa pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah sepenuhnya mencapai tujuan yang ditetapkan untuk perang di Gaza. Hal ini terjadi di tengah laporan dari media Israel yang menekankan banyaknya korban jiwa yang ditimbulkan oleh pasukan pendudukan Israel di Gaza utara.

Selain itu, The New York Times menyoroti meningkatnya skeptisisme di kalangan eselon atas kepemimpinan militer Israel mengenai pencapaian dua tujuan utama perang: memberantas Hamas dan menjamin pembebasan lebih dari 100 tawanan yang masih ditahan di Gaza.

Mantan ketua Dewan Keamanan Nasional Israel Giora Eiland mengakui sulitnya meraih kemenangan, dengan menyatakan, "Selama senjata dan amunisi ada di Gaza, dan selama ada cukup pemuda yang siap berperang sampai mati, kemenangan akan tetap sulit diraih."

 

Kesepakatan gencatan senjata yang mulai berlaku pada Ahad (19/1/2025) mempertontonkan kepada dunia bagaimana pasukan Brigade Al-Qassam tampil gagah di hadapan publik. Usai menggelar konvoi pembebasan tiga sandera, mereka muncul dengan topeng dan ikat kepala hijau sambil membawa senjata laras panjang. 

Citra yang tersebar di seluruh dunia tersebut mengingatkan ancaman Perdana Menteri Israel pada 5 Mei 2024 lalu, hampir tujuh bulan setelah serangan Israel ke Gaza. Netanyahu menyatakan bahwa tujuan utama dari perang ini adalah untuk menghancurkan Hamas dan mencegahnya menguasai Gaza. Lebih dari 250 hari setelah pernyataan ini, dan 470 hari setelah agresi Israel,  janji-janji Netanyahu dijawab dengan semakin kokohnya perlawanan Palestina meski banyak pimpinan Hamas yang syahid dibunuh penjajah.

Padahal, Israel sudah mendapat bantuan dana militer, bom hingga amunisi dari negara adidaya dengan kekuatan militer terbesar di bumi, Amerika Serikat. Palestine Chronicle yang mengutip Aljazirah Arabia dalam analisisnya mengungkapkan, pada jam-jam awal gencatan senjata tahap pertama, Ahad, radio militer Israel melaporkan, pasukan Hamas menegaskan kembali kendali mereka atas Gaza. 

Hamas menegaskan tidak pernah kehilangan kendali atas bagian mana pun dari wilayah tersebut selama perang.  Gencatan senjata bahkan semakin memperkuat organisasi tersebut. Perkembangan ini menyoroti kesenjangan antara tujuan strategis Israel dan kenyataan di lapangan.  Gambar-gambar dari Gaza terus menunjukkan kehancuran yang meluas dan hilangnya nyawa, namun Hamas tetap memegang kendali.

Anggota Brigade Izzedine al-Qassam, sayap militer Hamas, mengambil bagian dalam parade merayakan gencatan senjata di Deir al-Balah, Jalur Gaza, Ahad , 19 Januari 2025. - (AP Photo/Abdel Kareem Hana)

Literatur militer menyoroti konsep “Pusat Gravitasi” (Center of Gravity, COG) untuk organisasi militer. Dalam kasus Hamas dan Perlawanan Palestina, elemen utama kekuatan mereka terletak pada dukungan penduduk setempat.

Dukungan akar rumput ini dinilai memberi Hamas kedalaman sosial yang tak ternilai, pasokan sumber daya manusia yang berkesinambungan, dan dukungan strategis yang kuat. Dukungan rakyat dan kepercayaan terhadap pilihan strategis dan kepemimpinan perlawanan telah memungkinkan Hamas untuk mempertahankan mandat populernya untuk mencapai tujuan nasional Palestina.

Untuk meruntuhkan ini, Israel telah menargetkan infrastruktur sipil Gaza baik secara militer maupun psikologis, yang bertujuan untuk meningkatkan biaya dukungan bagi perlawanan dan melemahkan basis populer Hamas. Kendati demikian, belum ada tanda-tanda perlawanan warga Gaza terhadap Hamas.

 

Pada pekan-pekan awal perang, Israel mengungkapkan rencananya untuk memindahkan penduduk Gaza secara paksa. Media Israel melaporkan pada Oktober 2023 bahwa Netanyahu telah mengusulkan untuk merelokasi penduduk Gaza ke negara lain. Namun, setelah berbulan-bulan perang, penduduk Gaza menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan untuk tetap tinggal, dengan para pengungsi di kamp-kamp pengungsian merayakan kembalinya mereka ke rumah-rumah mereka, terlepas dari kehancuran yang telah mereka derita.

Di Gaza utara, khususnya di Beit Lahiya, Beit Hanoun, Jabaliya, dan Shuja'iyya, upaya Israel untuk mencegah kembalinya para pengungsi menjadi penghalang yang signifikan terhadap kesepakatan gencatan senjata, dan menundanya selama berbulan-bulan.

Rencana Israel, yang dikenal sebagai “Rencana Jenderal” oleh mantan penasihat militer Israel, Giora Eiland, bertujuan untuk menciptakan zona penyangga di Gaza utara dengan menerapkan tekanan militer dan kehidupan yang sangat besar pada penduduk. Namun, seperti yang terlihat dari gambar-gambar yang beredar di wilayah tersebut, penduduk yang mengungsi terus menolak dan kembali, sehingga meruntuhkan tujuan relokasi Israel.

Pada Desember 2023, Netanyahu menolak usulan Palestina agar Hamas diikutsertakan dalam pemerintahan pascaperang Gaza, dengan menegaskan, “Tidak akan ada Hamas dalam periode pascaperang; kami akan menghapuskannya.”

Sepanjang perang, Israel mencoba berbagai metode sepihak untuk mengelola Gaza, termasuk administrasi militer langsung dan menciptakan otoritas teknokratis baru dengan para pemimpin lokal, tetapi semua upaya itu gagal. Upaya militer Israel untuk mendistribusikan bantuan kemanusiaan di Gaza juga terbukti tidak efektif, karena tentara berjuang untuk mengelola operasi ini.

Ketika konflik mendekati fase akhir, struktur pemerintahan di Gaza belum berubah. Kepemimpinan Hamas, terutama Brigade Al-Qassam, terus beroperasi secara efektif, dan perjanjian gencatan senjata telah memungkinkan kembalinya pasukan keamanan lokal. Bahkan setelah pembunuhan yang ditargetkan oleh Israel terhadap 723 anggota polisi dan aparat keamanan Gaza, ketahanan pasukan keamanan Gaza tetap terbukti.

Kegagalan visi pascaperang Israel ini disoroti oleh komentar seorang analis politik di i24 News Israel, yang mempertanyakan hasil dari operasi militer yang berkepanjangan: “Apa yang telah kita capai dalam satu tahun dan lima bulan? Kami menghancurkan banyak rumah, kehilangan banyak tentara terbaik kami, dan pada akhirnya, hasilnya sama saja: Hamas berkuasa, bantuan masuk, dan Brigade Al Qassam kembali.”


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler