Komandan al Qassam Ternyata Masih Hidup, Media Zionis: Intelijen Israel Lemah

Israel mengevaluasi kemampuan lembaga intelijennya seperti Shin Bet dan Mossad.

EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Ilustrasi pasukan al Qassam sayap militer Hamas.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV — Kemunculan komandan Brigade Izzuddin al Qassam wilayah Beit Hanoun Fayyad Hussein alias Abu Hamzah yang oleh Israel dikabarkan sudah wafat, ternyata kini muncul lagi. Sejumlah video yang menampilkannya dalam keadaan segar bugar beterbaran di media massa.

Hussein muncul dalam video itu dan berpesan bahwa gerakan perlawanan terhadap Israel akan terus bermunculan. Semua orang di Palestina satu suara untuk melawan Israel. Hal itu disampaikannya di tengah reruntuhan gedung dan banyak bangunan sasaran pemboman IDF.

Merespons hal tersebut, Media Israel Yedioth Ahronoth memberitakan kemunculan kembali Fayyad Hussein alias Abu Hamzah yang semula dikabarkan oleh petinggi militer Israel sudah wafat, merupakan pertanda intelijen Israel lemah. Hamas menyebut hal ini sebagai pukulan telak yang menyakiti Israel.

Badan intelijen dan militer Israel sedang menilai kembali klaim mereka sebelumnya bahwa Hussein Fayyad, komandan Batalyon Beit Hanoun Hamas, tewas dalam operasi bulan Mei di Gaza setelah ia tampaknya muncul kembali pada hari Rabu.

Selama peperangan berlangsung, Fayyad dikenal sebagai komandan yang menggerakkan massa dengan berbagai alutsista untuk membombardir kendaraan taktis Israel, seperti tank merkava dan kendaraan baja pengangkut personel.

Hal ini dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama adalah monitoring gerak kendaraan taktis tersebut. Berada di mana saja kendaraan tersebut bergerak. Kemudian dicocokkan waktunya. Setelah itu akan ditentukan di titik mana penghancuran dilakukan.

 

Biasanya personel akan mulai disiagakan beberapa saat sebelum eksekusi penghancuran. Kemudian pada waktu yang pas, pasukan muncul menggunakan senjata menghancurkan alat lapis baja Israel. Biasanya mereka menggunakan senjata antitank yang membuat tank Merkava Israel yang diklaim dunia ‘canggih’ dan kuat. Ternyata hancur menjadi besi tua di tangan pasukan Hamas

Baca Juga


Fayyad selama ini melakukan itu dengan berbagai strategi yang dimilikinya.

Strategi itu dia dapatkan dari pengalaman sepanjang usianya bertempur bersama seniornya di Brigade Izzuddin al Qassam.

Ngotot mau perang lagi

Menteri Keuangan Bezalel Smotrich baru-baru ini mengadakan pertemuan yang bertujuan untuk menyelenggarakan kampanye publik guna menghentikan kesepakatan penyanderaan di Gaza setelah tahap pertama berakhir dan melanjutkan perang, seperti yang telah ia serukan, Channel 12 melaporkan pada hari Rabu.

Jaringan tersebut mengatakan pertemuan tersebut dihadiri oleh keluarga korban warga Israel yang terbunuh dalam perang, kerabat para sandera — tampaknya mereka yang menentang kesepakatan tersebut — dan para ahli strategi.

Menghentikan kesepakatan gencatan senjata setelah tahap pertama akan menyebabkan hampir dua pertiga dari 91 sandera dalam tahanan, karena hanya 33 yang akan dibebaskan pada bagian pertama dari tiga tahap gencatan senjata.

Seorang peserta mengatakan pertemuan tersebut difokuskan pada mobilisasi dukungan publik dan internasional untuk memulai kembali pertempuran.

Peserta yang tidak disebutkan namanya dalam laporan tersebut mengatakan kepada Channel 12: "Kami diundang ke pertemuan yang mendesak, rahasia, dan tidak resmi. Tujuannya adalah untuk merumuskan strategi guna menekan publik agar kami dapat melanjutkan pertempuran segera setelah fase pertama kesepakatan berakhir."

 

Israel tetap penjahat kemanusiaan

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid (HNW) mengingatkan gencatan senjata Israel dengan Palestina (HAMAS) bukan untuk memaafkan kejahatan kemanusiaan Israel terhadap warga Gaza, sebagaimana diputuskan oleh International Court of Juctice (ICJ) dan International Criminal Court (ICC).

“Sambil kita menyambut baik gencatan senjata itu, tapi juga mengingatkan soal keputusan-keputusan ICJ dan ICC atas kejahatan-kejahatan Israel yang tetap harus dilaksanakan, tidak malah dilupakan atau dimaafkan. Karena gencatan senjata yang ditandatangani oleh Israel dan Hamas (Palestina) serta negara-negara mediator memang bukan untuk melupakan keputusan-keputusan ICC dan ICJ," kata Hidayat dalam keterangannya.

Oleh karena itu, dia juga meminta agar pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mementingkan hal itu dan untuk ikut pro aktif bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara mediator seperti Qatar, Mesir dan Amerika Serikat untuk memastikan gencatan senjata di Gaza, Palestina, yang telah disepakati, dan diumumkan mulai berlaku tanggal 19 Januari 2024, dapat ditaati bersama dan tidak dilanggar oleh Israel.

"Indonesia juga perlu ikut pro aktif mengawal gencatan senjata itu agar ditaati dan dilaksanakan semua butirnya, dengan melibatkan negara-negara sahabat di PBB, OKI, negara-negara mediator dan organisasi-organisasi internasional lainnya. Ini sangat perlu dilakukan agar genosida dan kejahatan kemanusiaan di Gaza oleh Israel dapat segera dihentikan, dan penjahatnya dikenakan sanksi hukum sebagaimana keputusan ICC dan ICJ,” ujarnya.

 

HNW sapaan akrabnya mengatakan upaya untuk mengawal perjanjian gencatan senjata itu sangat perlu dilakukan dengan melihat track record Israel yang seringkali melanggar apa yang telah disepakati. Salah satunya adalah gencatan senjata pada November 2024 lalu dengan Lebanon, yang berulangkali dilanggar Israel dengan tetap menyerang Lebanon pasca perjanjian itu disepakati.

Dia juga meminta agar Pemerintah Indonesia membangun komunikasi dengan negara-negara anggota PBB, terutama dengan negara-negara mediator – seperti Qatar, Mesir dan Amerika Serikat – untuk memastikan bahwa Israel menaati seluruh kesepakatan gencatan senjata yang telah mereka tandatangani. Secara khusus, ia menyoroti bahwa pemimpin AS yang saat ini dan akan datang,

Presiden Joe Biden dan Presiden terpilih Donald Trump sama-sama mendukung agar gencatan senjata ini segera dilakukan. Bahkan, gencatan senjata itu diumumkan oleh Presiden Joe Biden.

“Oleh karena itu, apabila Israel kembali membangkang dengan melanggar perjanjian gencatan senjata itu, maka selain jelas menunjukkan perlawanan terhadap keputusan/policy Amerika Serikat dan arus besar warga dunia yang menyambut baik gencatan senjata, maka seharusnya Israel diberikan sanksi hukum dengan pengucilan Israel dari keanggotaan lembaga2 internasional termasuk dari keanggotaannya di PBB maupun IPU. Dan sudah semestinya kalau pemerintah dan parlemen AS makin menyadari bahwa perilaku Israel justru merugikan kepentingan luar negeri AS, sehingga sudah saatnya AS berpikir serius untuk mempertimbangkan kembali dukungan mutlaknya kepada Israel yang dilakukannya selama ini,” ujarnya.

 

HNW menjelaskan catatan ini perlu diberikan karena, meski Israel sudah mulai menarik mundur pasukannya, dan kantor perdana menteri Israel sudah menandatangani naskah gencatan senjata, dan jalan-jalan di Jenin mulai dibuka, tetapi tanda-tanda pelanggaran perjanjian yang sudah disepakati sudah mulai terlihat. Pasca perjanjian gencatan senjata itu ditandatangani, Israel masih terus menyerang dan mengakibatkan tewasnya 73 warga di Gaza, Palestina, termasuk korbannya adalah anak-anak dan perempuan sipil yang lagi merayakan kemenangan Gaza dengan adanya gencatan senjata tersebut.

Hal ini juga telah terkonfirmasi dan diingatkan oleh Hamas sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut, dimana pihaknya sudah mentaati butir-butir gencatan senjata, tetapi dari pihak Israel masih menunjukkan perilaku pembangkangan.

“Saya sepakat dan setuju dengan sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang secara terbuka mengutuk keras tindakan kejahatan israel sesudah ditandatanganinya gencatan senjata tersebut. Semoga pada 19 Januari besok, setelah gencatan senjata itu resmi berlaku, tidak ada lagi pelanggaran atas kesepakatan tersebut,” tuturnya.

Selanjutnya, HNW juga berpesan agar pemerintah Indonesia juga terus menjalin dukungan negara-negara di PBB untuk menaati dan menjalankan keputusan ICC dan ICJ dengan terus menuntut Israel dan pimpinannya terhadap kejahatan genosida, apartheid dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya.

Dia mengatakan gencatan senjata tersebut bukan berarti melupakan dan memaafkan berbagai kejahatan yang telah dilakukan oleh Israel dan pimpinannya.

Oleh karena itu, proses di ICJ dan ICC serta upaya untuk menangkap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant serta mereka yang terlibat sebagaimana diputuskan oleh ICJ harus tetap berjalan dan dituntaskan.

“Hendaknya itu terus dilaksanakan sebagai komitmen penegakan keadilan dan hukum internasional serta menyelamatkan marwah organisasi dan peradilan internasional, seperti PBB, ICJ dan ICC dan peradaban global. Dalam mengawal ini, wajarnya Indonesia menjadi garda terdepan sesuai perintah Konstitusi (alinea ke 4 Pembukaan UUDNRI 1945), sekalian juga untuk membayar hutang sejarah dengan bangsa Palestina yang membantu kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda,” ujarnya.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler