Islamic Arts Biennale 2025, Sebuah Perjalanan Sublim di Bawah Kanopi Terminal Haji Jeddah
Tiap exhibition halls dapat dinikmati sebagai zona eksplorasi yang terpisah.
Laporan Jurnalis Republika Hasanul Rizqa dari Jeddah, Arab Saudi
REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Arab Saudi melalui Diriyah Biennale Foundation menggelar pameran seni Islam internasional Islamic Arts Biennale 2025.
Berlokasi di Sisi Barat Terminal Haji Bandar Udara Internasional King Abdul Aziz (KAA), Jeddah, Arab Saudi, pameran besar-besaran ini berlangsung dari tanggal 25 Januari hingga 25 Mei 2025, dan terbuka untuk umum.
Direktur Artistik Biennale 2025 Julian Raby menjelaskan alasan di balik pemilihan tempat kegiatan pameran ini, yakni Terminal Haji. Bagian dari Bandara KAA Jeddah tersebut sesungguhnya tidak hanya berfungsi sebagai tempat transit, melainkan juga titik temu yang kosmopolitan.
Di sinilah kaum Muslimin dari berbagai negara berkumpul sebelum mereka melanjutkan rihlah menuju Tanah Suci. Berdiri sejak 1981, Terminal Haji biasa melayani satu juta jamaah per tahun.
Atapnya berupa puluhan payung kanopi fiberglass yang bisa terbuka dan tertutup otomatis. Perancangnya, arsitek Gordon Bunshaft dan insinyur Fazlur Rahman Khan, terinspirasi dari tenda khas masyarakat Arab Badawi. Atas buah kerja ini, mereka diganjar Aga Khan Award pada 1983.
Dengan mengunjungi Biennale 2025, jamaah haji dan umroh dapat menyaksikan karya-karya seni Islam yang memukau. Lebih dari 500 objek historis dan artefak ditampilkan di sana.
Benda-benda tersebut menjadi saksi perkembangan peradaban Islam sejak zaman Rasulullah SAW. Pameran ini juga memajang berbagai instalasi seni kontemporer yang dibuat sejumlah artis seni-rupa, dari dalam maupun luar negeri Saudi.
Tiap exhibition halls Biennale 2025 dapat dinikmati sebagai zona eksplorasi yang terpisah, tetapi saling melengkapi. Kesemuanya menawarkan pengalaman yang unik kepada para pengunjung.
Raby mengatakan mereka diajak meniti sebuah perjalanan sublim dalam menemukan keindahan yang sakral.
“Tema ‘And All That is in Between’ mengeksplorasi berbagai cara yang para seniman gunakan untuk mencoba memahami dan mengakui ciptaan Tuhan melalui keterlibatan hati, pikiran, dan tangan kita,” ujar Raby, Sabtu (25/1/2025).
Biennale 2025 meliputi beberapa galeri interior, dan ruang terbuka di bawah kanopi Terminal Haji Barat di Bandara Internasional King Abdulaziz. Tempat ini dapat dinikmati sebagai zona eksplorasi yang terpisah namun saling melengkapi.
Exhibition hall yang pertama disebut sebagai Al Bidayah (Awal Mula). Di dalamnya, pengunjung diajak untuk merenungkan kesakralan dan makna di balik hal-hal materiel.
Objek-objek tersebut terdiri atas berbagai ornamen yang berhubungan dengan Ka'bah serta sejumlah salinan mushaf Alquran dari Makkah dan Madinah. Mushaf-mushaf itu paling tua berasal dari masa berabad-abad lampau. Banyak pula yang berasal dari luar Arab dan ditulis tangan langsung (handwritten).
Raby menceritakan, sejak dahulu jamaah haji dari berbagai kawasan, semisal Anak Benua India dan Asia Tengah, memiliki tradisi menghadiahkan Alquran ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Ini dengan harapan banyak tamu Allah akan mengaji dengan mushaf itu sehingga pahala pun ikut mengalir kepada mereka.
“Karena eksklusif berasal dari dua Kota Suci, maka tidak dapat dipungkiri koleksi-koleksi ini akan membangkitkan kesan yang kuat dalam diri pengunjung, khususnya Muslimin. Saat memasuki ruangan pameran, empat panel kain kiswah besar yang pernah dipakai Ka’bah pada 2023-2024 menyambut. Mereka pasti akan terpukau dan pada saat yang sama merasa terpanggil (untuk berziarah ke Tanah Suci),” kata Raby.
Ia menambahkan, ruang pameran itu juga menyajikan salinan terjemahan Alquran dalam bahasa Latin dan Ibrani yang dikerjakan oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi Eropa ratusan tahun silam. Ini mengindikasikan interaksi budaya antara kaum Muslimin dan non-Muslim sudah terbangun lama di Benua Biru.
Di dalam ruangan pameran Al Bidayah, terdapat pula karya-karya dari sejumlah seniman kontemporer. Asif Khan, seorang seniman kelahiran Britania Raya, menampilkan “Glass Qur’an”, yakni mushaf Alquran yang terbuat dari lempengan-lempengan kaca yang tersusun apik.
Dua perupa lainnya, yakni Abdelkader Benchamma dan Arcangelo Sassolino, dengan karya-karya mereka menggugah hati dengan keyakinan pengunjung akan kemahakuasaan Allah yang tak terbatas. “Al Bidayah adalah sebuah perjalanan batin,” ucap alumnus University of Oxford itu.
Zona kedua dinamakan sebagai Al Madar (Orbit). Ini memamerkan artefak-artefak yang adalah koleksi puluhan lembaga mitra Diriyah dari puluhan negara. Di antaranya adalah salinan kitab-kitab atau manuskrip-manuskrip legasi para sarjana Muslim era keemasan Islam, seperti Kitab al-Jabr wa al-Muqabalah karya al-Khwarizmi (wafat 850 M) yang disimpan Perpustakaan Vatikan; al-Qanun al-Mas’udi karya al-Biruni (wafat 1050 M); Zij Sultani karya Ulugh Beg (wafat 1449 M) dari Usbekistan; Kitab Suwar al-Kawakib ath-Thabitah karya Abdurrahman al-Sufi (wafat 986 M); Kitab Nuzhat al-Mushtaq karya al-Idrisi (wafat 1165 M), serta Mandhoumah fii Tarhil asy-Syams karangan astronom Ahmad Baba al-Tunbukti.
Di tempat ini, disajikan pula sejumlah objek yang dahulu digunakan para astronom Muslim untuk mengamati benda-benda langit. Misalnya, celestial globe dari India abad ke-17 dan astrolobe dari Iran abad ke-13.
Al Madar juga memamerkan sejumlah peta dunia yang dibuat para kartografer Muslim dari era klasik, termasuk karya-karya al-Idrisi (wafat 1165 M).
Zona ketiga ialah Al Muqtani (Penghormatan). Menurut Raby, bagian ini berisi banyak artefak yang membawa kembali penekanan pada dunia materiel.
Umumnya benda-benda yang ditampilkan di sini berasal dari koleksi pribadi dua patron, yakni Syekh Hamad bin Abdullah Al Thani dan Rifaat Medhat Syekh al-Ard.
The Al Thani Collection bercirikan selera seni yang tinggi pada benda-benda berharga, dengan fokus pada artefak-artefak yang berhiaskan permata. Misalnya, pedang, kendi logam, perisai, dan baju zirah. Semua itu bermandikan manik-manik yang tak ternilai harganya.
Adapun Furusiyya Art Foundation, yang didirikan Rifaat Medhat Syekh al-Ard, menghadirkan koleksi antara lain lusinan pedang dari masa ratusan tahun silam, termasuk era Perang Salib. Senjata itu berhiaskan ukiran-ukiran yang menawan. Beberapa dihiasi dengan batu-batu berharga.
Zona terakhir berada di lanskap outdoor spaces, yang dinaungi payung-payung raksasa Terminal Haji. Namanya ialah Al Midhallah (Kanopi). Di sini, berbagai instalasi seni kontemporer terhampar. Sebagian besar karya ini dipesan khusus untuk Biennale 2025 demi memperkuat tema utamanya.
Di area Al Midhallah pun berdiri sebuah masjid kecil hasil rancangan EAST Architecture Studio, bekerja sama dengan para arsitek AKT II dan desainer Rayyane Tabet. Masjid ini adalah pemenang sayembara bertajuk “Al Musalla Prize.”
Tim ini berhasil memenangkan lomba tersebut dengan karya mereka yang terinspirasi dari tradisi tenun Arab. Bangunan tersebut juga memakai bahan dari sisa-sisa pohon kurma yang sudah dipanen sehingga sarat akan pesan dan makna ekologis.
“Bienalle 2025 mengeksplorasi bagaimana iman dialami, diungkapkan, dan dirayakan melalui perasaan, pemikiran, dan karya. Kami menawarkan wawasan unik tentang keindahan yang sakral di momen transformasi global,” kata Raby.