Israel Takut Jika Amerika Tarik Pasukan dari Suriah

Israel ingin memperluas wilayahnya ke Suriah.

IDF
Tentara Israel mengevakuasi prajurit yang terluka.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV — Rencana Amerika menarik pasukannya dari Suriah membuat pusing pemerintah Israel. Sebabnya, negara zionis tersebut baru saja berhasil mencaplok beberapa kawasan Suriah seperti di kawasan Golan. Kemudian penempatan pasukan Israel di sana didukung oleh militer Amerika.

Baca Juga


Namun kini, Amerika berencana menarik pasukannya. Komentator urusan politik saluran Kan Israel, Suleiman Maswad, mengungkapkan bahwa telah terjadi diskusi, di tingkat politik dan keamanan, dalam beberapa pekan terakhir, mengenai penarikan pasukan Amerika Serikat dari Suriah.

Maswad mengatakan bahwa sebuah pesan telah diterima dari pejabat senior di pemerintahan Presiden AS Donald Trump kepada tingkat keamanan dan politik Israel. Pesan itu menyatakan bahwa ia ingin menarik pasukannya dari Suriah.

Masalah ini diangkat dalam diskusi di tingkat politik dan keamanan dalam beberapa pekan terakhir. Komentator urusan politik saluran Kan menunjukkan, "Ini bukan tentang jumlah pasukan yang besar. Sebaliknya, kita berbicara tentang beberapa ribu orang yang hadir di beberapa pangkalan di Suriah, dan mereka memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilaku Suriah terhadap Israel," sebagaimana diberitakan al Mayadeen.

Abu Muhammad al-Julani. - (AP Photo/Omar Albam)

 

Maswad menambahkan bahwa pasukan Amerika “memiliki pengaruh besar terhadap minoritas Kurdi yang ada di sana, dan ada ketakutan bahwa Turki akan menyerang Suriah dan merugikan mereka. Para pemimpin di Israel sangat khawatir dengan kemungkinan ini; mengenai pendekatan separatis Trump yang menekankan America First dan Greater America.”

Sekitar dua pekan lalu, pemimpin pemerintahan baru Suriah, Ahmed Al-Sharaa (Al-Julani), mengatakan, “Semua orang sepakat tentang kesalahan kemajuan Israel di Suriah, dan tentang perlunya kembali ke keadaan sebelum perang.”

Al-Sharaa mengumumkan, setelah pertemuannya dengan Perdana Menteri Qatar, pada hari Kamis, bahwa “Suriah berkomitmen dan siap menerima pasukan PBB di zona penyangga, dan agar keadaan kembali seperti sebelum Israel maju.”

Ancaman terhadap Suriah

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beberapa waktu lalu memperingatkan adanya "ancaman yang sangat nyata" terhadap kedaulatan Suriah di tengah keruntuhan rezim Assad baru-baru ini.

“Suriah kini berupaya meniti jalan baru setelah jatuhnya rezim sebelumnya sebulan lalu. Keputusan yang diambil saat ini akan menentukan masa depan untuk waktu lama ke depan. Ada peluang besar, namun juga ancaman serius,” ujar Utusan Khusus PBB untuk Suriah, Geir Pedersen, dalam pidatonya di Dewan Keamanan PBB.

 

Pedersen menyatakan kesiapan PBB untuk mendukung Suriah dalam menjalani fase baru ini dengan baik.

Ia menyoroti pertemuan pemerintah baru dengan berbagai kelompok dan perwakilan di Suriah, serta mendesak pemerintah “mengulurkan tangan untuk memberikan jaminan dan membangun kepercayaan seluruh komunitas di Suriah, mendorong keterlibatan aktif semua pihak dalam membangun negara ini.”

“Ada pula ancaman yang sangat nyata terhadap kedaulatan, kesatuan, dan integritas wilayah Suriah,” tambahnya, sambil memperingatkan serangan berkelanjutan oleh kelompok teroris PKK/YPG dan afiliasinya, Pasukan Demokratik Suriah (SDF).

“Wilayah timur laut, serta sebagian kota Aleppo, masih berada di bawah kendali SDF dan YPG,” ungkapnya.

Pedersen juga menyerukan pengembangan lebih lanjut dialog antar pihak serta mendesak semua pihak untuk mencari solusi tanpa konfrontasi militer.


 

Ia menyatakan keprihatinan atas “keberadaan dan aktivitas militer Israel yang terus berlanjut, termasuk di luar zona pemisah, yang melanggar perjanjian pelepasan tahun 1974.”

Pedersen meminta militer Israel untuk mengakhiri pembatasan kebebasan bergerak dan menegaskan bahwa “serangan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah Suriah harus dihentikan.”

Ia juga menuntut Israel untuk menghentikan serangan terhadap warga sipil dan memperingatkan bahwa tindakan tersebut “semakin membahayakan prospek transisi politik yang tertib.”

“Saya menyambut baik penerbitan lisensi umum sementara yang baru oleh pemerintah Amerika Serikat, tetapi upaya yang jauh lebih signifikan untuk sepenuhnya mengatasi sanksi dan penunjukan akan sangat diperlukan,” tambahnya.

Pedersen mencatat bahwa Resolusi Dewan Keamanan PBB 2254, yang mendorong gencatan senjata dan penyelesaian politik, kini “tidak dapat lagi diterapkan secara harfiah,” karena rezim Assad tidak akan dilibatkan dalam pembicaraan di masa mendatang.

 

 

“Jelas ada kebutuhan untuk pendekatan baru dan bulan-bulan pemikiran di berbagai bidang,” ujarnya.

Kepala bantuan kemanusiaan PBB, Tom Fletcher, mendesak banyak negara “memanfaatkan momentum ini.”

Ia menyoroti tiga tantangan kemanusiaan utama: kebutuhan untuk membangun kembali layanan esensial, perlindungan warga sipil, serta pelibatan perempuan dan anak perempuan dalam proses transisi.

“Situasi keamanan telah stabil, sehingga memungkinkan kami melanjutkan operasi kemanusiaan dalam skala yang jauh lebih besar,” tambahnya.

Fletcher juga menyambut baik pengumuman bantuan untuk Suriah dari PBB dan komunitas internasional.

Ia menekankan, “Kita harus memastikan aliran dukungan yang efisien ke dalam dan melalui Suriah.”

“Ini berarti sanksi tidak boleh menghalangi dukungan kemanusiaan,” ujarnya, seraya menyambut pengumuman baru AS tentang lisensi umum untuk Suriah.

Menekankan pentingnya keterlibatan aktif Dewan Keamanan dan komunitas internasional, ia menambahkan, “Kita harus berdiri bersama rakyat Suriah saat ini. Operasi kemanusiaan dapat memberikan dampak besar jika kita serius, berani, dan berkomitmen dalam mendukung mereka.”

Pejuang oposisi merayakan runtuhnya pemerintahan Suriah di Damaskus, Suriah, Ahad (8/12/2024). Kekuasaan Partai Baath di Suriah tumbang pada Ahad (8/12/2024). Hal itu ditandai ibu kota Damaskus lepas dari kendali rezim Presiden Bashar al-Assad. Runtuhnya kekuatan pasukan Assad di ibu kota mengakhiri 61 tahun pemerintahan Partai Baath yang penuh kekerasan dan 53 tahun kekuasaan keluarga Assad.  - (AP Photo/Omar Sanadiki)

 

Keruntuhan rezim Baath yang telah berkuasa selama 61 tahun di Suriah pada 8 Desember bertepatan dengan peningkatan serangan militer Israel di negara tersebut.

Militer Israel mulai menghancurkan infrastruktur dan fasilitas militer yang ditinggalkan oleh tentara rezim, serta memperluas pendudukannya di Dataran Tinggi Golan Suriah.

Pasukan Israel yang memasuki zona penyangga di sekitar Dataran Tinggi Golan melanjutkan pendudukan hingga mencapai 25 kilometer dari ibu kota Damaskus.


sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler