Presiden Aljazair: Tidak Ada Normalisasi dengan Israel Sebelum Negara Palestina Berdiri

Aljazair menolak untuk bergabung dengan negara-negara Abraham Accords.

EPA
Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune
Rep: Fuji EP Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune menegaskan bahwa negaranya tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel sebelum berdirinya negara Palestina.

Baca Juga


Pernyataan tersebut disampaikan dalam sebuah wawancara dengan harian Prancis Le Point pada Ahad (2/2/2025) dan dimuat dalam edisi Senin.

Menanggapi pertanyaan tentang kesiapan Aljazair untuk menormalkan hubungannya dengan Israel jika negara Palestina terbentuk, Tebboune mengatakan, “Tentu saja, pada hari itu terjadi.”

“Prioritas kami adalah pendirian negara Palestina,” kata Presiden Aljazair Tebboune, dikutip dari Anadolu Agency, Senin (3/2/2025).

Aljazair secara konsisten mempertahankan sikap tegas menentang normalisasi dengan Israel. Negara tersebut menolak hubungan diplomatik apapun hingga negara Palestina didirikan.

Negara ini menolak untuk bergabung dengan negara-negara yang meneken Abraham Accords pada tahun 2020 dimana terjadi kesepakatan normalisasi antara Israel dan beberapa negara Arab. Kesepakatan tersebut menekankan dukungannya yang tak tergoyahkan terhadap hak-hak Palestina dan pembentukan negara berdasarkan perbatasan pra-1967.

Posisi Aljazair berakar kuat pada sejarah revolusionernya dan komitmennya terhadap perjuangan Palestina, berdiri dalam solidaritas dengan mereka yang mengadvokasi penentuan nasib sendiri Palestina.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersama Presiden AS Donald Trump dalam penentanganan Perjanjian Abraham pada 2020 di Gedung Putih, AS. - (Reuters)

 

 

Hubungan Aljazair-Prancis yang Tegang

Mengenai hubungan Aljazair dengan Prancis, Tebboune membantah niat untuk pecah. Tebbeone menekankan bahwa upaya-upaya signifikan telah dilakukan untuk menghindari perpecahan.

Mengenai masalah wilayah Sahara Barat yang disengketakan, yang telah membuat hubungan bilateral tegang setelah Paris mengakui kedaulatan Maroko atas wilayah tersebut musim panas lalu, Tebboune menjelaskan bahwa dia memperingatkan Presiden Prancis Emmanuel Macron bahwa dia melakukan kesalahan besar dan akan merugi.

Masalah Sahara Barat telah menjadi sumber ketegangan antara Rabat dan Aljir selama sekitar lima dekade. Masalah ini dimulai pada tahun 1975 setelah penarikan kolonial Spanyol dari wilayah tersebut, dan konflik antara Maroko dan Front Polisario yang pro-kemerdekaan berubah menjadi perjuangan bersenjata yang berlangsung hingga tahun 1991, ketika perjanjian gencatan senjata ditandatangani.

PBB tidak mengakui klaim kedaulatan Front Polisario maupun Maroko, yang menguasai sebagian besar wilayah Sahara Barat dalam sebuah perjanjian tahun 1975 dengan Spanyol dan Mauritania.

Maroko mengusulkan otonomi yang luas untuk wilayah Sahara Barat di bawah kedaulatannya, sementara Front Polisario menyerukan referendum penentuan nasib sendiri, sebuah sikap yang didukung oleh Aljazair, yang menjadi tuan rumah bagi para pengungsi dari wilayah tersebut.

Tebboune menggambarkan iklim hubungan antara Aljazair dan Prancis saat ini sebagai “beracun, dan waktu terbuang percuma dengan Presiden Macron,” setelah sebelumnya ada harapan besar untuk mengatasi ketidaksepakatan terkait memori.

Menanggapi pertanyaan tentang kesediaannya untuk melanjutkan dialog, asalkan ada pernyataan politik yang kuat dari pihak Prancis, Tebboune menjawab, “Tentu saja, tetapi saya tidak akan menjadi orang yang membuatnya.”

Dia menambahkan, “Bagi saya, Republik Prancis, pertama dan terutama, adalah presidennya, dan ada banyak intelektual dan politisi di Prancis yang kami hormati.”

Hubungan antara kedua negara telah tegang beberapa kali sejak Tebboune menjabat pada akhir 2019, karena masalah yang berkaitan dengan ingatan kolonial, migrasi, dan baru-baru ini wilayah Sahara Barat yang disengketakan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler