Serangga Jadi Menu MBG? Pakar: Tak Semua Daerah Kategorikan Serangga Edible Food

Muncul usulan serangga dijadikan menu MBG.

Dok Kogabwilhan III
Pelajar menerima paket makanan Makan Bergizi Gratis di SD Santo Michael Bilogae, Distrik Sugapa, Kabupaten Sugapa, Intan Jaya, Papua Tengah, Senin (20/1/2025). Kementerian Pertahanan melalui Kogabwilhan III mendistribusikan paket makan bergizi gratis sebanyak 1000 paket makan diperuntukkan bagi sekolah-sekolah di salah satu daerah rawan konflik di Disktri Sugapa menggunakan helikopter serta diolah di dapur yang dikelola TNI. Program Makan Bergizi Gratis disebut sebagai langkah besar dalam sejarah kebijakan sosial Indonesia untuk mengatasi masalah malanutrisi, stunting, serta mendorong penguatan ekonomi lokal.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MGB) kembali menjadi sorotan usai Kepala Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mengusulkan pemanfaatan serangga sebagai menu MBG. Usulan ini berangkat dari daerah tertentu yang menjadikan serangga seperti belalang dan ulat sagu sebagai sumber protein.

Baca Juga


Menanggapi masalah ini, Dosen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Lailatul Muniroh menilai ada beberapa faktor yang harus menjadi pertimbangan dalam mengadopsi serangga sebagai menu MBG. Dari segi gizi, serangga memang memiliki kandungan protein yang tinggi. Akan tetapi, tantangan utama justru datang dari aspek budaya, psikologis, dan keamanan pangan.

“Memang ada beberapa daerah yang terbiasa mengonsumsi serangga. Tapi tidak semua daerah menganggap serangga sebagai edible food. Jadi hal ini betul-betul harus dipikirkan, bukan sekadar formalitas tanpa manfaat yang maksimal,” kata Lailatul dalam keterangan tertulis, seperti dikutip Jumat (7/2/2025).

Lebih lanjut Laila menjelaskan terkait kandungan gizi dalam serangga. Menurut dia, per 100 gram serangga memiliki kadar protein yang lebih tinggi dari sapi dan ayam. Serangga juga kaya akan asam amino esensial dan asam lemak tak jenuh seperti omega 3 dan omega 6.

 

“Tetapi penting untuk digarisbawahi, jumlah atau porsi diperlukan dalam jumlah banyak untuk memenuhi kebutuhan protein tersebut,” kata Lailatul.

Meskipun kaya nutrisi, faktor budaya dan psikologis masih menjadi tantangan. Mengingat, di sebagian besar masyarakat Indonesia konsumsi serangga sebagai makanan masih belum umum.

Oleh karena itu, perlu ada inovasi dalam pengolahan serangga agar masyarakat bisa menerima. Misalnya dalam bentuk tepung protein serangga yang dapat diolah menjadi berbagai makanan atau produk olahan lainnya.

“Memang di beberapa daerah sudah terbiasa konsumsi serangga, tapi di sebagian besar masyarakat itu tidak umum. Penerimaan terhadap serangga sebagai makanan sehari-hari dipengaruhi oleh faktor budaya, psikologis, sosial, dan ekonomi,” kata dia.

Masalah lain adalah tiadanya regulasi yang jelas mengenai konsumsi serangga. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang panjang tidak memberikan penjelasan terkait serangga sebagai komoditas pangan. Sejauh ini, pangan serangga hanya diatur dalam Peraturan Kepala BPOM No 13 Tahun 2016, yang menjelaskan bahwa produk berbasis serangga perlu evaluasi BPOM sebelum mendapatkan izin untuk beredar sebagai makanan.


“Saya harap pemerintah dapat menyusun regulasi yang jelas, termasuk mengedukasi masyarakat tentang manfaatnya, serta berinovasi dalam mengembangan produk berbasis serangga. Juga mendukung ekosistem budidaya serangga skala UMKM dapat membantu penyediaan bahan baku yang berkelanjutan,” kata Lailatul.

Jangkauan MBG

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyampaikan bahwa hingga saat ini Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah menjangkau 733 ribu penerima manfaat di seluruh Indonesia.

733 ribu penerima manfaat tersebut mencakup siswa sekolah maupun ibu hamil, ibu menyusui, hingga balita.

 

"MBG telah menjangkau 246 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di seluruh Indonesia, mencakup 733 ribu penerima manfaat," katanya saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

Dadan juga menyebutkan beberapa standar yang harus dipenuhi oleh mitra MBG, yakni pemenuhan kebutuhan kalori, serta standar komposisi gizi.

"BGN tidak menetapkan standar menu nasional, tetapi standar komposisi gizi, misalnya 30 persen harus protein, 40 persen karbohidrat, dan 30 persen serat," ujar dia.

Selain itu, terkait pernyataannya yang sempat ramai diperbincangkan soal protein serangga berpotensi dijadikan menu dalam MBG, ia menegaskan bahwa menu pangan disesuaikan dengan kesukaan atau kebiasaan konsumsi di wilayah-wilayah tertentu.

"Mungkin saja di daerah tertentu masyarakat ada yang sudah terbiasa makan serangga, maka itu bisa dimanfaatkan, tidak lantas menjadi standar menu nasional," tuturnya.

Sebelumnya, Lembaga survei Indikator Politik Indonesia mengungkapkan bahwa sebanyak 64,6 persen responden mengaku puas dengan program makan bergizi gratis (MBG) pada 100 hari kerja Presiden Prabowo Subianto.

Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menjelaskan bahwa 64,6 persen responden yang mengaku puas tersebut merupakan bagian dari 91,3 persen responden yang mengetahui program MBG.

"Kemudian, setuju atau tidak terhadap MBG? Yang menyatakan sangat setuju dan setuju itu sekitar 87,1 persen. Mereka setuju dengan program ini," kata Burhanuddin.

Meski begitu, ia mengatakan bahwa Presiden Prabowo dan jajaran harus mewaspadai angka ketidakpuasan terhadap Program MBG yang baru dimulai pada 6 Januari 2025.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler