Sebelum Turun Kewajiban Shaum Ramadhan, Muslim Sudah Akrabi Puasa

Rasulullah SAW gemar berpuasa pada waktu-waktu tertentu, sebelum turun QS 2:183.

www.freepik.com
Puasa Ramadhan (ilustrasi).
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara kebahasaan, kata bahasa Arab untuk 'puasa' adalah shaum. Bentuk jamaknya adalah shiyam. Itu dekat dengan makna kata imsak yang berarti ‘menahan.’ Adapun menurut istilah, shaum berarti menahan makan dan minum serta semua yang membatalkannya semenjak terbit fajar hingga terbenamnya matahari.

Baca Juga


Sebelum Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan, kaum Muslimin sesungguhnya sudah akrab dengan puasa. Umat Islam pada masa awal syiar dakwah Nabi Muhammad SAW gemar shaum. Bahkan, mereka menilai wajibnya berpuasa pada waktu Asyura, yakni tiap tanggal 10 Muharram.

Adapun dalam tradisi umat Yahudi, ada hari raya Yom Kippur, yang berlangsung tiap tanggal 10 pada bulan Tishri. Sampai kini pun, Yom Kippur masih diperingati sebagian besar kaum Yahudi.

Selain berpuasa, orang-orang Yahudi gemar mengenakan pakaian yang bagus-bagus serta menyajikan makanan yang serba enak. Ini sebagai ungkapan rasa syukur mereka kepada Tuhan.

Imam Syafii menyebutkan sebuah hadis Nabi Muhammad SAW. Isinya mengungkapkan bahwa Rasulullah SAW menggemari puasa pada tiga waktu, yakni hari kesembilan, hari ke-10, dan hari ke-11 pada bulan Muharram. Adapun riwayat lain menjelaskan, ritual berpuasa itu terjadi sebelum turun ayat tentang kewajiban berpuasa pada Ramadhan.

Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersama dengan sejumlah sahabatnya melaksanakan puasa tiap tanggal 13, 14, dan 15 dalam bulan-bulan penanggalan kamariah. Selain itu, kaum Muslimin juga terbiasa berpuasa setiap tanggal 10 Muharram atau Hari Asyura.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar, Rasulullah SAW pernah memerintahkan kaum Muslimin untuk berpuasa pada 10 Muharram. Hal ini berlaku sampai datangnya perintah Allah SWT mengenai kewajiban berpuasa Ramadhan, yakni melalui wahyu Alquran surah al-Baqarah ayat ke-183.

Rasulullah SAW melaksanakan puasa Asyura tentu saja dengan izin dari Allah, bukan “ikut-ikutan” kaum Yahudi. Beberapa waktu usai berhijrah dari Makkah ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi Madinah melakukan puasa pada hari Asyura.

 

Rasulullah SAW pun menanyakan hal tersebut karena sebelumnya beliau melaksanakan puasa Asyura mengikut tradisi Ajaran Nabi Ibrahim AS. Ternyata, keterangan dari orang-orang Yahudi Madinah mengungkapkan bahwa pada hari Asyura juga terjadi peristiwa diselamatkannya Musa AS dan Bani Israil dari bala tentara Firaun.

Sebagai penutup para nabi dan rasul, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa dirinya lebih berhak melaksanakan puasa tersebut daripada kaum Ahli Kitab yakni Yahudi. Maka, Rasul SAW menegaskan kembali sunnahnya puasa Asyura. Jadi, ini sama sekali tidak mengikuti tradisi Yahudi.

Sismono dalam bukunya, Puasa pada Umat-Umat Dulu dan Sekarang, menegaskan, kebiasaan berpuasa tiap tanggal 10 Muharram tidak ada kaitannya dengan peringatan wafatnya cucu Nabi SAW, Husain bin Ali. Seperti diketahui, kaum Syiah kerap menjadikan momentum 10 Muharram untuk memperingati peristiwa Karbala nan tragis itu.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler