Derita Warga Gaza di Tengah Hujan Berkah Ramadhan

Warga Gaza tetap berpuasa Ramadhan di tengah blokade Israel.

AP Photo/Jehad Alshrafi
Warga Palestina melaksanakan Sholat Jumat pertama bulan suci Ramadan di Masjid Imam Shafii, yang rusak akibat serangan tentara Israel, di lingkungan Zeitoun, Kota Gaza, Jumat (7/3/2025). Warga Palestina di Gaza menggelar sholat jumat diantara reruntuhan masjid Imam Shafii pasca gencatan senjata dengan Israel. Meski penuh keterbatasan, warga tetap khusyuk menjalani ibadah sholat jumat pertama di bulan Ramadhan.
Rep: Fuji Eka Permana Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Abdullah al-Ashqar, seorang pekerja konstruksi berusia 45 tahun dan ayah dari lima anak, berdiri di depan rak-rak bahan makanan yang tandus dan hanya ditandai dengan label harga yang meningkat tajam. Bagi al-Ashqar, bulan suci Ramadhan telah bergeser dari musim kegembiraan menjadi musim keputusasaan yang mendalam.

Baca Juga


"Ramadan dulu berarti kegembiraan bagi kami, kami akan berkumpul di sekitar meja, berbuka puasa bersama, dan aroma roti segar memenuhi rumah," kata al-Ashqar, dikutip dari halaman Bernama, Senin (10/3)

Pada awal Maret 2025, pihak berwenang Israel memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza, dengan alasan berakhirnya tahap pertama perjanjian gencatan senjata dengan Hamas, yang secara efektif menutup penyeberangan perbatasan Kerem Shalom, jalur utama Gaza untuk makanan, obat-obatan, dan bahan bakar.

Blokade ini bertepatan dengan dimulainya bulan Ramadhan bagi lebih dari dua juta penduduk Gaza, sebuah periode yang secara tradisional ditandai dengan perayaan komunal dan pembaharuan spiritual.

Namun, banyak keluarga kini menghadapi bulan suci dengan dapur kosong dan harapan yang memudar.

“Anak-anak saya bertanya kepada saya setiap hari, apa yang akan kita makan hari ini? Dan saya tidak punya jawaban," kata al-Ashqar.

Sebelum konflik, penghasilannya dari pekerjaan konstruksi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kini, dengan terputusnya rantai pasokan, bahkan barang-barang kebutuhan pokok pun menjadi barang mewah yang tak terjangkau.

Di seluruh Kota Gaza, pasar-pasar yang dulunya ramai kini nyaris sepi. Pedagang makanan seperti Mahmoud al-Far hanya bisa pasrah melihat para pembeli yang bertanya tentang harga-harga dan pergi dengan tangan hampa.

 

“Penutupan Kerem Shalom berarti tidak ada barang yang masuk,” al-Far menjelaskan, sambil menunjuk ke arah rak-rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, gula, dan minyak goreng.

“Orang-orang datang, bertanya tentang harga, lalu pergi. Mereka bahkan tidak mampu membeli kebutuhan pokok,” ujarnya.

Bagi Mariam al-Hattab, seorang ibu berusia 40 tahun dengan tujuh anak yang sebelumnya menghidupi keluarganya dengan membersihkan rumah, keruntuhan ekonomi telah menghilangkan mata pencahariannya dan membuatnya tidak mampu menyediakan makanan untuk anak-anaknya.

“Momen tersulit bagi saya adalah ketika anak bungsu saya meminta makanan, dan saya tidak punya apa-apa untuk diberikan kepadanya,” kata al-Hattab sambil menangis.

 

“Bagaimana anda mengatakan kepada seorang anak bahwa tidak ada yang bisa dimakan?” ujarnya.

Para pejabat Hamas menggambarkan blokade sebagai hukuman kolektif. Salama Maarouf, kepala kantor media pemerintah yang dikelola Hamas, menegaskan bahwa menutup penyeberangan Kerem Shalom berarti memutus bantuan kemanusiaan, menghentikan aliran obat-obatan, dan menciptakan kekurangan makanan yang menghancurkan.

Pemerintah Israel beralasan bahwa masalah keamanan mengharuskan adanya kontrol yang ketat terhadap bantuan yang masuk ke Gaza, dengan alasan adanya kekhawatiran bahwa Hamas dapat mengalihkan bantuan untuk tujuan militer.

Namun, kelompok-kelompok kemanusiaan berpendapat bahwa pembatasan yang ada saat ini lebih dari sekadar tindakan keamanan dan merupakan bencana kemanusiaan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah berulang kali memperingatkan bahwa Gaza berada di ambang kelaparan.

 

Di seluruh dunia Muslim, Ramadhan biasanya menyatukan masyarakat untuk berbuka puasa bersama, yaitu makan malam untuk berbuka puasa. Di Gaza, tradisi ini telah direduksi menjadi pengingat yang menyakitkan akan apa yang telah hilang.

“Kami biasanya duduk bersama di meja iftar, meskipun sederhana,” kenang al-Hattab.

“Sekarang, kami duduk dalam keheningan. Saya tidak ingin anak-anak saya melihat kelemahan saya, tetapi saya tidak punya apa-apa untuk diberikan,” katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler