Daya Beli Anjlok Jelang Lebaran 2025, Biaya Hidup Melonjak, dan PHK Mengancam
PHK semakin menekan daya beli masyarakat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lesunya konsumsi rumah tangga menjadi sorotan utama menjelang Lebaran 2025. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi sebesar minus 0,09 persen (year on year/yoy) pada Februari 2025, dengan tekanan terbesar berasal dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang biasanya meningkat sebelum Ramadhan.
"Biasanya, konsumsi meningkat menjelang Lebaran, tetapi kali ini justru sebaliknya. Ini menjadi sinyal bahwa daya beli masyarakat sedang melemah," kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal dalam laporan CORE Insight Awas Anomali Konsumsi Jelang Lebaran 2025, dikutip Jumat (28/3/2025).
Kondisi ini diperparah oleh lonjakan biaya mudik yang semakin memberatkan masyarakat. Harga BBM yang naik sejak akhir 2024 dan tarif transportasi yang melonjak menyebabkan anggaran mudik meningkat 20-30 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Jika pada 2024 rata-rata keluarga mengalokasikan Rp 2,5-4 juta untuk mudik, maka tahun ini diperkirakan mencapai Rp 3-5 juta. "Bagi pekerja dengan penghasilan pas-pasan, kenaikan ini memaksa mereka memilih untuk tidak mudik atau mengurangi anggaran belanja Lebaran," kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat.
Selain biaya mudik yang meningkat, harga kebutuhan pokok juga mengalami lonjakan, membuat masyarakat semakin berhati-hati dalam membelanjakan uang. Situasi ini berpotensi memperlambat perputaran ekonomi di berbagai sektor yang biasanya mengalami lonjakan omzet selama Ramadan dan Lebaran.
Di sisi lain, ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin menekan daya beli masyarakat. Sepanjang 2024, tercatat 77.965 kasus PHK, dan di awal 2025, tambahan 4.050 pekerja kehilangan pekerjaan. Sektor manufaktur dan tekstil menjadi yang paling terdampak, karena banyak perusahaan mengurangi produksi akibat penurunan permintaan global.
"Jika daya beli terus melemah tanpa stimulus yang tepat, risiko perlambatan ekonomi semakin nyata," ujar Faisal.
Data menunjukkan ekspektasi penghasilan masyarakat enam bulan ke depan turun 1,1 persen, sedangkan ekspektasi ketersediaan lapangan kerja turun 2,1 persen. Dampak dari melemahnya daya beli ini terlihat jelas dalam pola transaksi masyarakat. Transaksi belanja menggunakan ATM dan kartu debit terkontraksi minus 4 persen pada 2024, berbanding terbalik dengan pertumbuhan 8 persen pada 2023. Sementara itu, transaksi kartu kredit yang semula naik 26 persen pada 2023, kini hanya tumbuh 8 persen pada 2024.
Penurunan konsumsi juga terlihat dari kontraksi impor barang konsumsi. Pada Februari 2025, impor barang konsumsi turun 10,61 persen dibanding Januari dan jika dibandingkan Februari 2024, penurunannya lebih dalam mencapai minus 21,05 persen.
Menurut Achmad Nur Hidayat, tantangan Lebaran 2025 mencerminkan masalah sistemik dalam ekonomi nasional. "Daya beli yang melemah bukan hanya soal konsumsi, tetapi juga dampak dari kebijakan fiskal yang tidak pro-rakyat kecil, seperti kenaikan PPN 11 persen dan suku bunga tinggi," jelasnya.
Selain itu, ia menyoroti kurangnya perlindungan terhadap tenaga kerja dan UMKM, yang membuat mereka menjadi kelompok paling rentan saat ekonomi melambat. "Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah strategis, seperti stimulus fiskal dan proteksi bagi sektor padat karya, resesi bisa menjadi kenyataan yang menghancurkan harapan pemulihan ekonomi," tambahnya.
Sementara itu, CORE Indonesia dalam laporannya merekomendasikan beberapa langkah yang perlu segera dilakukan pemerintah untuk menahan pelemahan konsumsi. Pertama, menjaga daya beli masyarakat dengan kebijakan fiskal yang lebih pro-konsumen, seperti penyesuaian tarif pajak dan insentif harga pangan.
Kedua, melindungi UMKM dari tekanan impor dengan regulasi yang lebih ketat terhadap barang impor, terutama di sektor tekstil dan produk rumah tangga. Ketiga, menyediakan stimulus bagi sektor padat karya guna mencegah PHK lebih lanjut dan menjaga stabilitas lapangan kerja.
"Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, tren pelemahan konsumsi ini dapat menjadi hambatan serius bagi pertumbuhan ekonomi nasional di tahun 2025," tegas Faisal.