5 Gubernur Usulkan Guru Tua Pahlawan, Alkhairaat: Pembaru Islam di Indonesia Timur

Presiden Sukarno mengapresiasi sosok Guru Tua.

Guru Tua
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama Guru Tua atau Habib Idrus bin Salim Aljufri sangatlah harum. Dia dikenal sebagai tokoh penebar kearifan Islam dan pembangun SDM berkualitas dari Indonesia Timur.

Pengurus Besar (PB) Alkhairaat menegaskan bahwa usulan pahlawan nasional kepala Guru Tua yakni Habib Idrus bin Salim Aljufri sebagai pendiri Alkhairaat, dilakukan oleh lima gubernur di Indonesia.

"Mungkin guru tua, satu-satunya calon pahlawan nasional yang diusulkan oleh lima gubernur yakni Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Kalimantan Utara dan Maluku Utara," kata Sekretaris Jenderal PB Alkhairaat Djamaluddin Mariadjang di Palu, beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan, banyak yang bertanya, kenapa Sulawesi Utara mendukung pencalonan guru tua, yang mayoritas beragama nonmuslim.

"Guru tua tokoh moderat. Moderasi beragama telah dilakukan Habib Idrus sejak pertama kali membangun Alkhairaat," ungkapnya.

Bahkan sampai saat ini kata dia, di Sulawesi Utara, banyak madrasah Alkhairaat bertebaran untuk semua jenjang pendidikan dan hubungan ulama Alkhairaat dengan pemerintah juga sangat baik.

"Sejak awal mendirikan madrasah Alkhairaat, Guru Tua telah menggunakan saudara nonmuslim sebagai tenaga pendidik," ungkapnya.

Hingga saat ini, banyak satuan pendidikan Alkhairaat menggunakan saudara nonmuslim sebagai guru dan pengajar di semua jenjang pendidikan hingga perguruan tinggi.

"Presiden Indonesia pertama Sukarno bahkan mengakui kemampuan Habib Idrus sebagai tokoh yang membuat pembaruan Islam di kawasan timur Indonesia," katanya menegaskan.

Kisah dakwah

Sejak sebelum Indonesia berdiri, Habib Idrus sudah berdakwah di tengah tantangan penjajahan asing. Banyak ulama mendorongnya untuk berdakwah di pedalaman. Karena itulah dia kemudian berangkat menuju Palu, Sulawesi Tengah.

Di sana dia sudah ditunggu masyarakat yang menantikannya. Mereka adalah Muslim yang membutuhkan rujukan ulama untuk mengembangkan dakwah Islam. Mereka menyiapkan lahan untuk pendirian sekolah. Dengan kerja sama berbagai pihak, maka berdirilah Alkhairaat pada Tahun 1930.

Bukan hal mudah melaksanakan dakwah pendidikan kala itu. Sebab harus berhadapan dengan penjajah Belanda dan Jepang. Ditambah lagi kondisi ekonomi kala itu sungguh penuh kesulitan. Namun Hb Idrus optimistis menjadi penopang ekonomi Alkhairaat. Berbekal ikhtiar dan tawakal, dia menjadi penanggung jawab yang menghidupkan dan menumbuhkan ekonomi Alkhairaat serta menjamin penyelenggaraan pendidikan dan keberlangsungan guru.

Apakah murid dan santri Alkhairaat ketika itu dipungut biaya?

Berdasarkan penjelasan Sayid Zen bin Umar Smith yang menulis kisah hidup ‘Sang Mutiara’, mereka tidak dipungut biaya. Manajemen pendidikan merujuk kepada sistem madrasah di Arab. Siapapun yang mau belajar silakan datang dan ikuti segala aturan yang ada.

 

Pendidikan dan cinta

Yang menarik dari gaya mendidik Hb Idrus adalah, dia bukan sekadar menyebarluaskan ilmu, tapi juga cinta. Cinta kepada sesama manusia, saudara atau ukhuwah. Dengan begitu, satu sama lain harus saling menghormati, menguatkan (yasyuddu ba’dhuhum ba’dha).

Di majelis, dia merupakan guru yang memberikan ilmu. Namun di luar majelis, dia menjadi pemecah banyak masalah kehidupan masyarakat. Juga menjadi pedagang yang keuntungannya digunakan untuk keberlangsungan Alkhairaat.

Baca Juga


Bagi seorang Hb Idrus, harta bukanlah segalanya. Jika ada yang lebih membutuhkan, dialah yang pertama kali mengulurkan tangan untuk membantu orang lain. Gemar berbagi menjadi kebiasaannya sehari-hari.

 

Dakwahnya menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami dan diterima masyarakat awam. Keikhlasan beliau dalam menggemakan ajaran Islam terlihat jelas dari hasil yang dicapainya, yaitu walaupun dengan bahasa Indonesia (saat itu popular sebagai bahasa Melayu) yang sangat terbatas, dia mampu meyakinkan dan memberikan pelajaran yang komprehensif sehingga diterima masyarakat. Di tengah kesibukannya yang sangat padat, sebagai pendidik, beliau tetap meluangkan waktu mengajar di madrasah Alkhairaat.

Waktunya sangat berkah. Tiap menit yang dilaluinya tidak akan disia-siakan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Allah SWT telah memberi limpahan rahmat kepada beliau dalam bentuk kecerdasan, kemampuan sastra merangkai kata nan indah dan istiqamah memperjuangkan pendidikan Islam dan perjuangan melepaskan kehidupan dari belenggu penjajahan, seperti yang dilakukan datuknya Nabi Besar Muhammad SAW.

Penggubah syair

Sebagai sastrawan, syair gubahannya menyejukkan hati, bagaikan air jernih yang sejuk mengalir membasahi nurani siapa pun yang menyimaknya. Terkadang syairnya merefleksikan kritik sosial atau memberi motivasi dan semangat kepada para pemuda untuk bergerak bersama pejuang yang lain dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri ini.

Pada tahun 1933 M, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang isinya mewajibkan siswa Alkhairaat membayar pajak kepada pemerintah kolonial. Begitu peraturan itu disampaikan, spontan para siswa yang jumlahnya ratusan orang berdemontrasi di depan kantor pajak, menuntut dibatalkannya peraturan tersebut. Pemerintah Kolonial Belanda khawatir akan meluasnya demontrasi sehingga mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat. Karena itu, pemerintah kemudian mengabulkan tuntutan para siswa. Alhamdulillah, kebijakan memungut pajak tidak dijalankan.

Pada tanggal 8 Desember 1941 M perang Pasifik pecah. Kemudian pada 11 januari 1942 Tentara Jepang menduduki Manado, serta menjadikan kota tersebut sebagai pangkalan militer mereka di Indonesia bagian timur. Tidak lama kemudian, bala tentara Jepang menduduki Palu, dan memerintahkan Madrasah Alkhairaat ditutup.

Selama pendudukan Jepang Habib Idrus tidak hanya berpangku tangan dan menyerah begitu saja. Beliau tetap mengadakan kegiatan mengajar, tetapi secara rahasia. Lokasi belajar dipindahkan ke desa Bayoge yang terletak 1,5 KM dari lokasi awal madrasah Alkhairaat.

Proses belajarnya dilakukan pada malam hari dengan menggunakan pelita sebagai penerangan. Para siswanya datang satu demi satu, agar tidak terlihat menyolok. Proses belajar dengan cara demikian berlangsung selama pendudukan Jepang 3.5 tahun.

Ketika Jepang kalah perang dan angkat kaki dari bumi Indonesia, maka pada 17 Desember 1945, madrasah Alkhairaat secara resmi dibuka kembali. Habib Idrus bin Salim membaca syair pada saat acara peresmian madrasah sekaligus menyambut kemerdekaan Indonesia dengan syairnya yang indah, dimana pada awal bait syairnya yang menggunakan bahasa Arab terekpresikan rasa syukur dan kebahagiaan;

رَايَةُ اْلعِزِّرَفْرَفِي فِي سَمَاءِ ** اَرْضُهَاَ وَجِبَالُهَا خَضْرَاءُ

Berkibarlah bendera kemuliaan di angkasa # Daratan dan gunung-gunung nya nan hijau

إِنَّ يَوْمَ طُلُوْعِهَا يَوْمُ فَحْرٍ ** عَظَمَتْهُ اْلأَبَاءُ وَالأَبْنَاءُ

Sungguh ! hari kebangkitannya adalah hari kebanggaan # dimuliakannya oleh orang tua dan anak-anak

كُلُّ عَامٍ يَكُوْنُ لِلْيَوْمِ ذِكْرَى ** يَظْهَرُ الشُّكْرَ فِيْهَا وَالثَّـنَاءُ

Tiap tahun hari itu menjadi peringatan # muncul rasa syukur dan puji-pujian

كُلُّ اُمَّةٍ لَهَا رَمْزُ عِزٍّ ** وَرَمْزُ عَزِّنَا اْلخَمْرَاءُ اْلبَيْضَاءُ

Tiap bangsa memiliki simbul kemuliaan # Dan simbul kemuliaan kami adalah merah-putih

ياَسُوْكَرْنُوا حَيَّـيْتَ فِيْنَا سَعِيْدًا ** بِالدَّوِاءُ مِنْكَ زَالَلَ عَنَّا اَلدَّاءُ

Wahai Sukarno. Engkau jadikan hidup kami bahagia # dan simbul kemuliaan kami adalah merah dan putih

أَيُّهَا الرَّئِيْسُ اَلْمُبَارَكُ فِيْنِا ** عِنْدَكَ الْيَوْمَ لِلْوَرَى اَلْكِمِيَاءُ

Wahai Presiden yang penuh berkah untuk kami # engkau hari ini laksana kimia bagi masyarakat

باِلْيَرَاعِ وَبِالسِّيَاسَةِ فُقْتُمْ ** وَنَصَرْ تُمْ بِذَا جَاءَتِ اْلأَنْبَاءُ

Dengan perantara pena dan politikmu kau unggul # kau menang dengannya telah datang berita

لاَ تُبَالُوْا بِأَنْفَسٍ وَبَنِيْنَ ** فِي سَبِيْلِ اْلأَوْطَانِ نِعْمَ اْلفِدَاءُ

Jangan risaukan jiwa dan anak-anak # demi tanah air alangkah indah penebusannya

Ketika ban mobil pecah

Habib Idrus adalah seorang ulama yang sangat menghargai waktu untuk belajar. Suatu hari pada tahun 1966, ia dan kedua orang tuanya bersama Habib Idrus serta dua orang muridnya berangkat menuju Kulawi, yang berjarak sekitar 70 Km dari Palu.

Di tengah perjalanan, ban mobil yang ditumpanginya pecah. Habib Idrus turun dan menanyakan kepada sopirnya, kira-kira berapa lama waktu yang diperlukan untuk memperbaiki mobil ini. Sang sopir menjawab, “Kira-kira 30 menit.“ Langsung beliau mengambil tikar plastik dan menghamparkannya di tepi jalan. Kemudian memanggil muridnya untuk mengaji kitab.

Kisah wafat

Kegiatan harian Habib Idrus bin Salim Al-Jufri sangat padat, semangat da’wahnya tetap tinggi, padahal usianya sudah uzur. Hal ini mempengaruhi kesehatan beliau. Penyakit maag beliau sering muncul. Bisa jadi selama perjalanan da’wahnya beliau jarang menyempatkan diri untuk makan, sehingga suatu hari pada tahun 1969 beliau jatuh sakit yang cukup serius dan diberangkatkan ke Jakarta untuk berobat oleh keluarganya. Setelah sembuh, beliau dibawa kembali ke Palu. Sesampainya di rumah kediamannya beliau meminta dibuatkan sebuah kamar disamping kiri Masjid Alkhairaat, sejajar dengan mihrab imam (kiblat).

pada bulan Ramadhan menjelang Idul Fitri beliau merasa kesehatannya lebih baik. Beliau kemudian pergi ke Masjid Nur menjadi imam pada sholat Idul Fitri. Pada saat itu Habib Idrus membawa uang yang dimilikinya. Selesai sholat beliau membagi-bagikan uang itu hingga habis kepada semua orang mustahiq yang hadir di dalam masjid tersebut. Dalam kesempatan ini beliau mengumumkan untuk mewakafkan rumah kediamannya dan madrasah Alkhairaat kepada kaum muslimin di Palu. Tindakan ini tentunya dilakukan setelah mendapat persetujuan dari ahli warisnya.

Tidak lama setelah Idul Fitri, yaitu pada tanggal 12 Syawal 1389 atau bertepatan dengan 22 Desember 1969, jam 02.40 sang Guru Tua memenuhi panggilan Allah SWT di atas pangkuan salah seorang murid kepercayaannya Abdul Wahab Muhaimin.

Meski sudah dikebumikan, Hb Idrus seperti masih membersamai masyarakat setempat. Jasadnya telah tiada, tapi ruhnya terus menyaksikan perkembangan negeri ini.

Namanya diabadikan menjadi bandara di Palu, Mutiara Sayid Idrus bin Salim Aljufri atau Mutiara SIS Aljufri. Juga menjadi nama jalan. Foto-fotonya menjadi hiasan banyak orang di sana yang merindukannya, bersanding dengan foto kepala negara.

Orang selalu merindukan Hb Idrus, karena itu mereka selalu mendoakannya dalam berbagai majelis. Haulnya selalu diselenggarakan pada pertengahan atau akhir Syawal. Puluhan ribu orang hadir untuk meluapkan rasa cinta kepada Hb Idrus, sang mutiara di timur Indonesia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler