Tersangka Dugaan Suap Hakim Bertambah, Terungkap Kronologi dari Lobi-Lobi Hingga Bagi-Bagi
Kejagung telah menetapkan 8 tersangka pengaturan vonis lepas kasus minyak sawit.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tersangka kasus dugaan suap-gratifikasi pengaturan vonis lepas para korporasi terdakwa korupsi perizinan ekspor minyak mentah kelapa sawit (CPO) bertambah jadi delapan orang. Pada Selasa (15/4/2025) Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan M Syafei (MSY) selaku Legal Wilmar Group sebagai tersangka tambahan.
Syafei adalah pihak yang diduga menyediakan uang setotal Rp 60 miliar agar Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat (PN Tipikor Jakpus) menjatuhkan vonis lepas terhadap terdakwa korporasi Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengungkapkan, Syafei dalam skandal suap-gratifikasi vonis lepas para terdakwa korporasi tersebut, terlibat sejak awal negosiasi. Syafei pun menjadi perwakilan dari Wilmar Group yang menyerahkan langsung uang suap-gratifikasi tersebut ke pihak-pihak di lingkungan peradilan PN Tipikor Jakpus.
“Penyidik menyimpulkan telah ditemukan dua alat bukti yang cukup, sehingga pada malam ini (15/4/2025), menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY selaku social security legal Wilmar Group,” begitu kata Qohar di Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).
Sebelumnya, Ahad (13/4/2025) penyidik di Jampidsus menetapkan tiga hakim, Djuyamto (DJU), Agam Syarif Baharuddin (ASB), dan Ali Muhtarom (AM) sebagai tersangka. Pada Sabtu (12/4/2025), penyidik di Jampidsus menetapkan empat tersangka awalan. Mereka yakni Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Muhammad Arif Nuryanta (MAN) yang ditetapkan tersangka selaku mantan Wakil Ketua PN Tipikor Jakpus, dan Wahyu Gunawan (WG) yang dijerat tersangka atas perannya selaku Panitera Muda Perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jaku). Serta dua tersangka lainnya, adalah pasangan pengacara Ariyanto Bakri (AR), dan Marcella Santoso (MS).
Peran Syafei
Sebelum diumumkan sebagai tersangka, penyidik Jampidsus memeriksa Syafei sebagai saksi pada Selasa (15/4/2025). Ia pun diperiksa silang dengan saksi-saksi lainnya yang sudah dijadikan tersangka, terutama saksi sekaligus tersangka Marcella. Kata Qohar, dari pemeriksaan tersebut tim penyidikannya semakin memperoleh kronologis yang lebih lengkap tentang asal mula skandal suap-gratifikasi untuk mengatur vonis lepas tiga korporasi terdakwa korupsi izin ekspor CPO.
Qohar menerangkan, mula-mula skandal suap-gratifikasi tersebut berawal dari pertemuan tersangka Ariyanto dengan tersangka Wahyu Gunawan. Dalam pertemuan tersebut, Wahyu yang menyampaikan langsung kepada Ariyanto selaku tim pengacara dari terdakwa korporasi agar perkara korupsi CPO yang menjerat peruahaan-perusahaan tersebut harus diusahakan untuk dilakukan pengaturan. Sebab, kata Wahyu kepada Ariyanto, kasus yang menjerat Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group tersebut akan divonis maksimal.
“Wahyu Gunawan menyampaikan kepada Ariyanto agar perkara minak goreng (CPO) harus diurus. Jika tidak, putusannya bisa maksimal. Bahkan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU),” kata Qohar.
Dalam pertemuan tersebut, Wahyu menyampaikan langsung kepada Ariyanto agar menyiapkan biaya-biaya pengurusan kasusnya di persidangan. Setelah mendengar langsung dari Wahyu perihal upaya pengaturan kasus tersebut, Ariyanto pun membicarakan komunikasi tersebut dengan tersangka Marcella. Selanjutnya, Marcella mengontak Syafei untuk minta waktu bertemu.
Marcella dan Syafei pun bertemu di Rumah Makan Daun Muda di kawasan Jakarta Selatan. “Kemudian MS memberitahukan pembicaraan antara AR dengan WG tersebut kepada MSY. Dan MS menyampaikan kepada MSY, bahwa AR mendapatkan informasi dari WG bahwa WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng,” ujar Qohar.
Selanjutnya, masih dalam perjumpaan itu, Syafei pun merespons dengan menyampaikan kepada Marcella akan ada tim yang akan mengurus masalah tersebut.
Dua pekan setelahya, Ariyanto kembali menghubungi Wahyu. Dari komunikasi tersebut, Wahyu kembali menyampaikan kepada Ariyanto agar perkara korupsi CPO yang menjerat terdakwa korporasi tersebut segera diantisipasi. “Setelah mendengar kabar dari WG tersebut, kemudian AR menyampaikan kepada MS,” kata Qohar.
Selanjutnya Marcella kembali mengontak Syafei untuk bertemu di Rumah Makan Daun Muda. “Dan saat itu MSY memberitahukan atau mengatakan bahwa biaya uang disediakan pihak korporasi sebesar Rp 20 miliar,” kata Qohar.
Marcella menampung usul biaya dari Syafei tersebut. Lalu melaporkannya kepada Ariyanto. Dan dari usulan biaya tersebut, Ariyanto menginisiasi pertemuan langsung dengan Wahyu dan Muhammad Arif Nuryanta yang saat itu masih sebagai wakil ketua PN Tipikor Jakpus. “AR, WG, dan MAN bertiga bertemu di rumah makam Layar Seafood Sedayu di Kelapa Gading,” kata Qohar.
Dalam pertemuan tersebut, Arif Nuryanta menyampaikan langsung kepada Ariyanto, bahwa perkara korupsi minyak goreng yang menjerat tiga korporasi sebagai terdakwa tak bakal diputus bebas. “Muhammad Arif Nuryanta mengatakan bahwa perkara minyak goreng tidak bisa diputus bebas,” ujar Qohar.
Namun selanjutnya, Arif Nurwanta menawarkan alternatif putusan kepada Ariyanto terkait nasib hukum tiga terdakwa korporasi tersebut. “Sebagai jawaban, Muhammad Arif Nuryanta menyampaikan, tetapi bisa diputus onslag (lepas),” kata Qohar.
Atas alternatif vonis tersebut, Qohar mengungkapkan, Arif Nuryanta menyampaikan kepada Ariyanto agar menyiapkan anggaran setotal Rp 60 miliar. “Muhammad Arif Nuryanta meminta agar uang Rp 20 miliar yang semula ditawarkan, dikalikan tiga. Sehingga jumlahnya total Rp 60 miliar,” kata Qohar.
Setelah pertemuan tersebut, Wahyu kembali mengubungi Ariyanto. “Wahyu Gunawan kemudian menyampaikan lagi kepada AR atau Ariyanto agar segera menyiapkan uang sebesar Rp 60 miliar itu,” kata Qohar.
Selanjutnya, Ariyanto berkomunikasi dengan Marcella untuk mengubungi Syafei. Dalam komunikasi dengan Marcella, Syafei menyanggupi permintaan Rp 60 miliar tersebut. “Dalam percakapan tersebut MSY menyanggupi akan menyiapkan permintaan tersebut dalam bentuk mata uang US dolar atau Singapura dolar,” ujar Qohar.
Tiga hari selepas itu, Syafei mengubungi Marcella. Syafei menyampaikan uang Rp 60 miliar sudah siap dan meminta agar Marcella mengirimkan alat pengiriman. “Selanjutnya MS memberikan nomor handphone Ariyanto kepada MSY untuk pelaksanaan penyerahan setelah ada komunikasi antara AR dengan MSY. Kemudian AR bertemu dengan MSY di parkiran SCBD Jakarta Selatan,” ujar Qohar.
Seterusnya, Syafei menyerahkan uang Rp 60 miliar dalam pecahan dolar AS tersebut kepada Ariyanto. Uang Rp 60 miliar tersebut Ariyanto antarkan kepada Wahyu di kediamannya di Klaster Ebony Jalan Ebony VI Blok AE Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara (Jakut). “Dan kemudian, uang tersebut WG serahkan kepada MAN,” kata Qohar.
Saat penyerahan tersebut, Arif Nuryanta mengambil seluruh uang antaran Wahyu tersebut. Arif 'hanya' memberikan 50 ribu dolar AS kepada Wahyu sebagai uang jasa pengubung. Sedangkan selebihnya, dalam penguasaan Arif Nuryanta.
Selanjutnya, Arif Nuryanta atas jabatannya sebagai wakil ketua PN Tipikor Jakpus menunjuk komposisi majelis hakim yang akan memeriksa perkara korupsi tiga terdakwa korporasi tersebut. Arif Nuryanta menunjuk Hakim Djuyamto sebagai ketua majelis, Hakim Agam Syarif Baharudin, serta Hakim Ali Muhtarom sebagai hakim anggota.
Ketiga hakim yang ditunjuk Arif Nuryanta itu turut mendapatkan jatah dari uang Rp 60 miliar pemberian Ariyanto tersebut. Hakim Djuyamto mendapatkan total Rp 7,5 miliar, Hakim Agam Syarif mendapatkan total Rp 6,5 miliar, dan Hakim Ali Muhtarom mendapatkan Rp 6 miliar.
Pada 19 Maret 2025 majelis hakim tersebut menjatuhkan vonis lepas terhadap Musim Mas Group, Wilmar Group, dan Permata Hijau Group. Padahal ketiga terdakwa korporasi tersebut dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam penerimaan izin ekspor CPO 2022.
JPU dalam tuntutannya meminta majelis hakim menghukum masing-masing perusahaan tersebut dengan denda Rp 1 miliar. Serta JPU meminta agar majelis hakim menghukum tiga perusahaan tersebut dengan pidana tambahan berupa mengganti kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara.
Terhadap terdakwa Permata Hijau Group, JPU meminta majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan, berupa membayar uang pengganti kerugian perekonomian negara senilai Rp 935,5 miliar. Terhadap terdakwa Wilmar Group senilai Rp 11,88 triliun. Dan terhadap terdakwa Musim Mas Group sebesar Rp 4,89 triliun.