Sejak Kapan Ada ‘Penyiksaan’ di Oriental Circus Taman Safari?
Penyiksaan di Oriental Circus sudah mulai dilaporkan sejak 1990-an.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Beberapa mantan pemain sirkus di Oriental Circus Indonesia (OCI) melaporkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) ke Kementerian HAM, pada Rabu (16/4/2025). Kasus yang menyeret Taman Safari Indonesia (TSI) ini sedianya sudah sejak lama dan sempat jadi perhatian pada akhir 1990-an.
Menelusuri arsip Republika, kasus ini ramai pada Maret 1997. Kala itu para pekerja yang mengeklaim disiksa diadvokasi Aksi Solidaritas Pembela Perempuan Teraniaya (ASPPT). Mereka bergerak menyusul kesaksian yang dilaporkan Vivi Nurhidayah (19 tahun) salah satu anak angkat dan pekerja sirkus. Saat itu, Vivi bersaksi bahwa ia disiksa sejak balita hingga dewasa dan menjadi pemain sirkus. Artinya, penyiksaan yang ia klaim terjadi sudah berlangsung sejak awal 1980-an.
''Kisah Vivi Nurhidayah mengingatkanku pada kisah Kassandra (telenovela populer pada 1990-an). Ia bekerja di sirkus milik suku Gipsi. Ia disiksa batinnya oleh ibu kekasihnya. Tetapi ia dicintai seluruh keluarga sirkus. Sedangkan Vivi teraniaya jasmani rohaninya. Ia terkungkung di sirkus dan mendapat perlakuan tak manusiawi. Ia pemain dalam atraksi Gajah Tunggang tetapi ia menderita beban seberat gajah. Atas nama ASPPT kita protes keras dan merencanakan demonstrasi besar-besaran,'' kata Azizah, seorang perempuan ketua ASPPT dilansir Harian Republika pada 24 Maret 1997.
Saat itu Pengelola Oriental Circus Taman Safari Bogor, setuju untuk menyelesaikan pengaduan Vivi secara kekeluargaan. Namun mereka tetap mengingkari melakukan penganiayaan terhadap Vivi, dan teman-temannya. Pernyataan itu disampaikan anggota Komnas HAM Prof Muladi dan Djoko Soegianto usai mempertemukan pengelola Oriental Circus dengan Vivi dan saksi-saksi lainnya di Jakarta pada 25 Maret 1997. Pengelola sirkus Tony Sumampouw saat itu hadir didampingi pengacaranya Poltak Hutajulu SH.
Menurut Muladi, ada indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Oriental Circus ini. Pelanggaran itu menyangkut asal-usul dan identitas anak, masalah pendidikan, dan hubungan kerja yang tidak jelas. Semua kesalahan itu, menurutnya, diakui pengelola sirkus.
Ihwal tidak jelasnya status anak, ungkap Muladi, pengelola beralasan sirkus mempunyai ikatan kekeluargaan yang sangat kuat. ''Kita katakan, itu boleh terjadi kalau dulu, tapi sekarang seperti itu tak boleh lagi. Sebab hak untuk tahu orang tuanya adalah hak mendasar,'' katanya kepada wartawan.
Ketika itu, ada tujuh orang anak yang tidak jelas asal-usulnya. Enam diantaranya masih bersama Oriental Circus, dan satu lagi adalah Vivi. ''Nanti data tersebut akan diumumkan kepada masyarakat yang merasa punya keluarga yang diberikan kepada Oriental Circus,'' kata Muladi yang didampingi Djoko Soegianto. Namun permintaan itu belum bisa dipenuhi pihak pengelola.
Mengenai hubungan kerja, Rektor Undip ini mengungkapkan sebenarnya tidak boleh mempekerjakan anak di bawah usia 14 tahun. Namun pihak pengelola menyatakan yang dilakukan di OCI bukan bekerja, tapi olahraga. Bagaimanapun, Komnas saat itu meminta mereka memberikan social security, seperti asuransi. Menurut Muladi, setelah ini pihaknya akan mengadakan koordinasi dengan aparat terkait. Dengan kantor Menpora menyangkut masalah pendidikan, Puskopau selaku salah satu pemodal Oriental Circus, dan Depnaker dalam hal pekerja.
Meski kasus itu akan diselesaikan secara kekeluargaan, menurut Muladi, tidak menutup kemungkinan para korban menggugat ke pengadilan. Namun ini tergantung penyelesaian awal. Vivi yang ikut hadir dalam pertemuan itu mengaku tidak puas. Ini karena Frans, yang diduga melakukan penganiayaan kepadanya, tidak hadir. Kendati begitu ia akan tetap mengikuti cara penyelesaian sebagaimana disarankan Komnas HAM.
Pada 25 Maret 1997 itu, beberapa teman Vivi berdatangan ke kantor Komnas HAM. Sayangnya mereka terlambat sehingga tak bisa mendampingi Vivi dalam pertemuan. Mereka antara lain, Anto, Butet, dan Ida yang mengalami lumpuh total. Mereka sangat mendukung upaya yang dilakukan Vivi. Dukungan itu dituangkan dalam surat pernyataan yang langsung ditulis mereka. Ada juga di antara mereka yang mengadukan nasibnya. Komnas saat itu berjanji akan membantu mereka. Ini terutama ditujukan kepada Ida, yang mengalami disabilitas seumur hidup. Sebelum ke Komnas, Ida sempat diancam akan diputuskan hubungan kerjanya di Taman Safari, tempatnya dipekerjakan saat itu.
Sejarah OCI bermula dari seorang pemain akrobat bernama Hadi Manansang yang berasal dari Shanghai, China. Ia merantau ke Jawa sebelum kemerdekaan. Sejak 1963, ia membentuk sejumlah kelompok sirkus yang akhirnya mapan menjadi Oriental Circus Indonesia pada 1972. Pada 1990-an, kelompok sirkus itu kian populer, bahkan kerap tampil di luar negeri. Sementara Hadi Manansang juga membuka usaha lainnya yang menjadi cikal-bakal Taman Safari Indonesia. Pada dekade kedua milenium baru, peminat OCI berkurang. Kelompok itu akhirnya memungkas aksi mereka dengan pertunjukan terakhir pada 2019.
Sedangkan terkait keriuhan belakangan, Taman Safari Indonesia (TSI) melalui komisarisnya, Tony Sumampouw menunjukkan bukti video terkait tuduhan eksploitasi para pekerjaOCI dari kecil. Video film yang ditunjukkan Tony Sumampouw pada Antara, memperlihatkan tentang kegiatan OCI yang diambil sekitar tahun 1981 bertepatan dengan perayaan Sekaten di Klaten dan Yogyakarta, menunjukkan para pekerja anak-anak itu ceria.
"Kalau ada bekas luka (penyiksaan dan lainnya) itu enggak mungkin anak-anak ceria seperti ini," kata Tony saat ditemui di Kabupaten Bogor, Rabu, dilansir Antara. Tony yang juga aktif di OCI bertindak sebagai pelatih hewan, mengatakan saat itu anak-anak memang harus menghabiskan waktu di lingkungan sirkus, seperti makan, mandi, istirahat bahkan belajar.
"Ketika itu memang bekerja semua, anak-anak makan, istirahat, show, sampai belajar ada waktunya. Kalau ada kekerasan mungkin saya juga kena karena saya kan di sana juga," ucap dia.
Tony Sumampouw menuturkan OCI dan Taman Safari Indonesia merupakan dua badan hukum yang berbeda, mengungkapkan isu ini pernah mencuat pada 1997 dan ditangani Komnas HAM yang kala itu dipimpin Ali Said, dan hasil penelusurannya ditemukan anak-anak tersebut berasal dari satu daerah di Jakarta.
"Ibu saya sangat suka anak-anak diasuh sampai usia enam tahun dan diarahkan mau ke sirkus apa entah akrobat atau lainnya. Jadi anak-anak itu, ibu datang ke daerah itu, mengambil anak di sana karena mereka ditolak ibunya dan bapaknya. Dan itu ada saksinya yang membenarkan," tutur dia. Tony menduga kasus ini kembali mencuat karena ada yang mengarahkan dan dia mencurigai orang yang mengarahkan tersebut dari luar OCI. "Ini ada yang mengarahkan. Ada minta sesuatu. Yang mengarahkan itu dari luar OCI," ucapnya menambahkan.
Sebelumnya, Wakil Menteri HAM Mugiyanto di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Selasa (15/4), menerima audiensi dari sejumlah mantan pekerja Oriental Circus Indonesia. Pada kesempatan itu, dia mendengarkan aduan terkait dengan dugaan pelanggaran HAM yang mereka alami. "Kami dengarkan dari mereka, ada kemungkinan banyak sekali tindak pidana yang terjadi di sana," ujarnya dikutip Antara.
Meskipun dugaan kekerasan yang mengarah pada pelanggaran HAM itu terjadi pada masa lampau, menurut dia, bukan berarti tindak pidana yang dilakukan tidak bisa diusut. "Apalagi, kita sudah punya KUHP sejak Indonesia merdeka," katanya.
Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) akan menjembatani pencarian hak bagi mantan pemain sirkus di Oriental Circus Indonesia yang diduga korban pelanggaran HAM saat bekerja di Taman Safari Indonesia sejak 1970-an.
Mugiyanto mengatakan bahwa Kementerian HAM akan berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Komnas HAM, mengingat para korban sebelumnya telah melapor ke dua pihak tersebut. Di samping itu, untuk mendapatkan informasi yang komprehensif, Kementerian HAM berencana meminta keterangan dari pihak Taman Safari Indonesia.