Bongkar Kekalahan Perang Gaza, Eks PM Israel: Trump tak Lagi Peduli dengan Netanyahu

Trump kecewa dengan sikap Netanyahu yang memanipulasi.

AP/Matthias Schrader
Ehud Barak.
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV—Mantan Perdana Menteri Israel Ehud Barak mengatakan pada Jumat (17/5/2025) bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump tidak peduli dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan bahwa pemerintah menyia-nyiakan para tahanan yang ditahan di Gaza untuk menenangkan para ekstremis.

"Trump tidak memperhatikan Netanyahu, dan dia tidak mencampuri apa yang Netanyahu putuskan untuk dilakukan di Gaza," kata Barak dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi swasta Israel, Channel 12, dikutip Republika.co.id, dari Aljazeera, Sabtu (17/5/2025).

Baca Juga



"Trump melihat bahwa Israel tidak akan mencapai apa pun di Gaza, karena tidak mencapai apa pun selama satu setengah tahun (sejak dimulainya perang pada Oktober 2023)," tambah Barak.

Barak mengatakan bahwa Netanyahu "lalai" dalam menjalankan tugasnya, dan bahwa dia terus membumihanguskan Jalur Gaza agar tetap berkuasa.

"Netanyahu menyerahkan sandera di Gaza untuk memuaskan para ekstremis dalam pemerintahannya," kata Barak.

"Dia juga telah mengabaikan tentara cadangan demi para penghindar wajib militer," tambahnya, merujuk pada kaum Yahudi religius (Haredim) yang menentang wajib militer.

Barak, yang menjabat sebagai perdana menteri antara tahun 1999 dan 2001, mengatakan bahwa Netanyahu "lalai dalam semua tugasnya" dan terus berjuang untuk kelangsungan hidupnya sendiri.

BACA JUGA: Negara Islam yang Ditakuti Israel Ini Peringkat ke-4 Hasil Tes IQ Tertinggi Dunia

Perluasan operasi militer

Mengenai kemungkinan perluasan operasi militer Israel di Jalur Gaza, Barak percaya bahwa meskipun Netanyahu memperluas kampanye militer, hal ini akan meningkatkan isolasi Israel dan meningkatkan kritik terhadapnya.

"Mungkin isolasi ini akan mengancam stabilitas Kesepakatan Abraham dan mungkin juga stabilitas perjanjian perdamaian," tambahnya.

 

Di bawah mediasi pemerintahan Trump selama masa jabatan pertamanya, empat negara Arab, yaitu Uni Emirat Araba, Bahrain, Sudan, dan Maroko, menandatangani perjanjian pada 2020 untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, yang dijuluki "Kesepakatan Abraham".

Selama masa jabatan barunya, yang dimulai pada 20 Januari 2025, Trump berharap untuk melanjutkan momentum perjanjian ini.

Perluasan operasi militer di Gaza merupakan "kebodohan strategis tingkat pertama", menurut mantan Perdana Menteri Israel tersebut.

"Operasi ini tidak akan mencapai hasil yang nyata, dan ada keraguan besar bahwa operasi ini akan menghasilkan apapun, dan bahkan menempatkan nyawa beberapa sandera yang masih hidup dalam bahaya besar dan mungkin kematian," tambahnya.

Pembebasan Alexander menyisakan 58 tawanan yang masih ditahan di Jalur Gaza, menurut laporan Israel. Dari jumlah tersebut, 23 orang diyakini masih hidup.

Pembicaraan serius membuahkan hasil

Dalam pernyataan resminya, Hamas mengatakan pembebasan Alexander menyusul komunikasi dengan pemerintah AS dan termasuk dalam upaya mediasi yang lebih luas yang bertujuan untuk mencapai gencatan senjata, membuka penyeberangan, dan memfasilitasi bantuan kemanusiaan ke Gaza.

Gerakan tersebut menyoroti tingkat fleksibilitas dan kemauan yang tinggi untuk terlibat, dengan menyatakan bahwa "negosiasi yang serius dan bertanggung jawab menghasilkan hasil berupa pembebasan tahanan."

Hamas juga memperingatkan bahwa agresi berkelanjutan oleh pendudukan Israel memperpanjang penderitaan para tawanan dan membahayakan nyawa mereka.

Kelompok tersebut menegaskan kembali kesiapannya untuk segera memulai negosiasi yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata yang komprehensif dan berkelanjutan, menyerukan penarikan penuh pasukan pendudukan, pencabutan blokade, pertukaran tahanan, dan pembangunan kembali Gaza.

BACA JUGA: Pakistan: Negara Islam dengan Nuklir Terbesar ke-7 Dunia, Israel Nafsu Ingin Hancurkan

Dalam pernyataannya, Hamas mendesak pemerintah Amerika Serikat untuk mengintensifkan upayanya untuk mengakhiri perang di Gaza. Amerika Serikat mengesampingkan 'Israel'.

BACA JUGA: Ekspor Senjata ke Israel Terbongkar, Pemerintah Inggris Dituduh Berbohong

Media Israel melaporkan Senin malam waktu setempat, Edan Alexander menolak bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu setelah diserahkan kepada militer Israel oleh Komite Palang Merah Internasional.

Menurut lembaga penyiaran publik Israel Kan 11, Alexander menolak pertemuan dengan Netanyahu tak lama setelah pembebasannya. Sebaliknya, media Israel menyebarkan gambar Alexander di atas helikopter militer Israel, memegang tanda tulisan tangan yang berbunyi: "Terima kasih, Presiden Trump."

 

 

Amerika Serikat telah mengabaikan Pemerintahan Netanyahu dalam negosiasi terkait Iran, Ansar Allah, dan yang terbaru, kasus tentara Israel dan tawanan Amerika Idan Alexander, menurut Channel 13 Israel.

Mengutip seorang pejabat AS, Channel 13 melaporkan bahwa setelah pembebasan Alexander, negosiasi segera diharapkan akan dimulai untuk mencapai kesepakatan yang komprehensif.

Nasib tawanan lainnya yang ditahan di Gaza kini dilaporkan berada di tangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, karena Hamas dan "Israel" menunggu langkah selanjutnya dari Washington.

Media Israel juga melaporkan bahwa Amerika Serikat secara aktif berupaya untuk menemukan sisa-sisa empat tawanan Amerika yang diyakini telah tewas selama perang.

Klaim Netanyahu

Pembebasan tawanan Amerika Serikat-Israel yang diantisipasi oleh Hamas tidak akan mengarah pada gencatan senjata di Jalur Gaza atau pembebasan tahanan Palestina, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan pada Senin.

Negosiasi untuk kesepakatan yang lebih luas guna mengamankan pembebasan semua tawanan Israel di Gaza akan dilanjutkan.

BACA JUGA: 3 Alasan Trump Berdamai dengan Houthi dan Tinggalkan Israel Menurut para Pakar

Meski demikian, Netanyahu yang dikenal sebagai seorang penjahat perang, mengungkapkan,  akan melakukannya di bawah senjata, selama persiapan untuk mengintensifkan pertempuran," menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh kantornya.

Menguatnya Dakwaan Genosida - (Republika)

 

Tel Aviv memperkirakan ada 58 tahanan Israel di Gaza, 20 di antaranya masih hidup, sementara lebih dari 9900 warga Palestina dipenjara di penjara-penjaranya, mengalami penyiksaan, kelaparan, dan kelalaian medis, yang telah menyebabkan banyak dari mereka meninggal, menurut laporan hak asasi manusia dan media Palestina dan Israel.

Pada awal Maret 2025, tahap pertama dari gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan antara Hamas dan Israel yang mulai berlaku pada 19 Januari, dengan mediasi Mesir-Qatar dan dukungan Amerika Serikat, yang ditaati oleh gerakan Palestina.

Namun, Netanyahu, yang sedang dicari oleh keadilan internasional, mengabaikan dimulainya tahap kedua dan melanjutkan genosida di Jalur Gaza pada tanggal 18 Maret, sebagai tanggapan terhadap sayap paling ekstrem dari pemerintahan sayap kanannya, menurut media Israel.

Selama empat hari terakhir, Israel telah mengintensifkan genosida di Jalur Gaza, melakukan puluhan pembantaian mengerikan yang menewaskan lebih dari 378 orang Palestina, menurut data dari Kementerian Kesehatan Gaza.

Eskalasi berdarah ini terjadi setelah Dewan Menteri Urusan Politik dan Keamanan Israel (Kabinet) menyetujui perluasan operasi genosida di Jalur Gaza dan aktivasi rencana militer baru yang disebut "Kereta Gideon", yang mencakup pengerahan lebih banyak pasukan cadangan.

Sejak 7 Oktober 2023, Israel, dengan dukungan AS, telah melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza, disertai dengan pengepungan yang mencekik yang telah menjerumuskan Jalur Gaza ke dalam kondisi kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler