UMKM Batik Pekalongan Bertahan Empat Generasi, Produksi Tembus 35 Kodi Sehari
Zumi Batik buktikan batik warisan keluarga bisa jadi sumber ekonomi berkelanjutan.
REPUBLIKA.CO.ID, PEKALONGAN -- Pekalongan, daerah di Jawa Tengah yang lekat dengan julukan Kota Batik, telah mempertahankan eksistensi batik secara turun-temurun selama berabad-abad. Batik bukan sekadar karya seni bernilai sejarah, tetapi juga menjadi fondasi peradaban sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
Pada Rabu (14/5/2025), Republika menyambangi kawasan produsen batik di Kelurahan Pasirkratonkramat, Pekalongan. Suasana ikonik tergambar dari pemandangan kain-kain batik yang dijemur di pekarangan rumah warga.
Nyaris setiap rumah memperlihatkan jejeran kain batik beraneka motif. Fenomena ini menandakan bahwa batik telah menyatu dalam kehidupan masyarakat, menjadi identitas sekaligus sumber penghidupan utama. Batik dan Pekalongan seolah membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Banyak warga Pekalongan yang mewarisi usaha batik dari orang tua mereka. Dari generasi ke generasi, batik terus menjadi penopang ekonomi masyarakat yang berkelanjutan. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) batik pun terus bermunculan, menjadikan ekosistem batik tetap hidup.
Salah satunya adalah Zumi Batik, UMKM yang telah bertahan hingga empat generasi. Pemiliknya, Latifa, merupakan generasi ketiga yang kini menjalankan usaha bersama anaknya, Boy Krisna, generasi keempat.
“Usaha ini sudah ada sejak buyut saya. Saya meneruskan. Mayoritas warga di sini memang usaha batik turun-temurun,” ujar Latifa saat ditemui di tempat produksinya di Jalan KH Samanhudi, Pasirkratonkramat, Rabu (14/5/2025) siang.
Latifa, perempuan berusia 54 tahun, mulai terjun ke dunia batik sejak 1990-an dengan menjajakan batik milik orang tuanya. Pada awal 2000-an, ia mulai memproduksi batik sendiri dengan modal sekitar Rp 100 juta, di rumah produksi seluas 20 meter persegi.
Saat dikunjungi, rumah produksinya tengah aktif. Sekitar 20 pekerja sibuk mengolah kain. Di bagian depan rumah, terlihat tumpukan kain putih berkodi-kodi. Suasana panas terasa di dalam rumah akibat bejana besar untuk proses nglorod, yakni penghilangan lilin dari kain batik setelah diwarnai.
Proses produksi dimulai dari pemotongan kain putih jenis samitex, pengecapan motif dengan canting cap, pewarnaan menggunakan mesin, lalu dilanjutkan dengan proses nglorod. Setelah itu, kain dicuci, dijemur, dan dibawa ke penjahit untuk dijadikan daster dan gamis.
“Dalam sehari kami bisa produksi 35 kodi. Setelah jadi, kain dibawa ke tukang jahit,” ujar Latifa.
Satu kodi berisi 20 potong kain, masing-masing sepanjang 2,65 meter. Dengan demikian, total produksi harian bisa mencapai 1.855 meter.
Harga daster berkisar Rp 58 ribu–Rp 60 ribu per potong, sedangkan gamis antara Rp 75 ribu–Rp 85 ribu, tergantung motif dan model.
Produk Zumi Batik telah merambah pasar Jakarta dan Solo. Pemasaran dilakukan melalui koperasi mitra, yakni Koperasi Bangun Bersama (KBB) yang lahir dari program corporate social responsibility PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG). Kerja sama dilakukan melalui sistem bagi hasil, 70 persen untuk UMKM dan 30 persen untuk KBB.
Selain itu, Zumi Batik juga memiliki jaringan pelanggan dari generasi ke generasi yang diperoleh melalui pemasaran mulut ke mulut.
Latifa menyebut usaha batiknya mampu membiayai kehidupan dan pendidikan kelima anaknya. Ia menyebut, saat permintaan tinggi seperti menjelang Lebaran, pendapatan bisa mencapai Rp 100 juta per minggu.
Namun, pada musim haji, permintaan cenderung menurun.
Tantangan rob dan IPAL
Meski berkembang pesat, usaha ini tidak lepas dari tantangan. Lokasi produksi di Pasirkratonkramat rawan banjir rob karena berada di utara Jawa dekat laut. Latifa sendiri tinggal di Desa Sidorejo, sekitar 7 km dari tempat produksi.
“Di sini sering banjir, jadi rumah produksi saja, bukan tempat tinggal,” ujarnya.
Boy Krisna, putranya, menjelaskan banjir rob bisa menghentikan operasional hingga sebulan. Bahkan, jika curah hujan tinggi, bisa dua bulan. Saat banjir, mereka mengangkat kain menggunakan meja atau kursi untuk mengurangi kerugian yang bisa mencapai Rp 20 juta. Produksi terhenti, dan pesanan pun kadang dibatalkan.
“Risikonya sudah kami terima. Kalau soal alam, kami hanya bisa pasrah,” kata Boy.
Tantangan lain adalah pengolahan limbah cair. Pemerintah mewajibkan adanya instalasi pengolahan air limbah (IPAL) demi menjaga kualitas lingkungan.
Boy menyambut baik rencana TBIG membantu pembangunan IPAL bagi UMKM mitra KBB. Ia berharap mendapatkan edukasi soal pengelolaan limbah agar usahanya berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Itu bisa membantu kami, tapi kami butuh edukasi karena mayoritas di sini pembatik dan lahan hijau juga sudah hilang sejak rob,” ujarnya.