Israel Lancarkan Fase Akhir 'Pembersihan Etnis' di Gaza
Sedikitnya 300 warga Gaza syahid sejak Kamis lalu.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Israel pada Sabtu mengatakan pihaknya melancarkan operasi militer besar-besaran di Jalur Gaza dengan sandi Gideon’s Chariot alias Kereta Gideon. Pembantaian besar-besaran dilakukan menyusul agresi terbaru itu yang telah menewaskan ratusan warga Gaza akhir pekan ini.
Serangan Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 300 orang sejak Kamis, kata para pejabat kesehatan Palestina. Beberapa hari ini merupakan salah satu periode paling mematikan dalam perang tersebut sejak perundingan gencatan senjata gagal pada bulan Maret.
Kampanye pengeboman yang intensif terjadi ketika blokade total Israel terhadap bantuan kemanusiaan telah memicu kekhawatiran akan terjadinya kelaparan di wilayah Palestina. "Sejak tengah malam, kami telah menerima 58 korban jiwa, sementara sejumlah besar korban masih berada di bawah reruntuhan. Situasi di dalam rumah sakit sangat buruk," kata Marwan al-Sultan, direktur rumah sakit Indonesia di Gaza utara, Sabtu pagi. Korban jiwa dalam 24 jam terakhir setidaknya 146, menurut Reuters.
Meningkatnya serangan dikutuk oleh kepala hak asasi manusia PBB, Volker Türk, pada hari Jumat, yang mengatakan kampanye pengeboman dimaksudkan untuk menggusur warga Palestina dan itu setara dengan pembersihan etnis.
“Serangan bom terbaru ini… dan penolakan bantuan kemanusiaan menggarisbawahi bahwa tampaknya ada dorongan untuk perubahan demografi permanen di Gaza yang bertentangan dengan hukum internasional dan sama saja dengan pembersihan etnis,” katanya.
Komentar Turki juga diamini oleh Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, yang menyerukan gencatan senjata permanen saat berbicara pada pertemuan puncak Liga Arab di Baghdad pada hari Sabtu.
Menteri Pertahanan Israel Katz mengatakan Operasi Kereta Gideon dilakukan dengan “kekuatan besar.” Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Ahad pekan lalu terungkap menyatakan pada parlemen Israel bahwa operasi militer dan penghancuran rumah-rumah di Gaza untuk mengusir seluruh warganya.
Operasi militer di wilayah Palestina terjadi sehari setelah Presiden AS Donald Trump mengakhiri perjalanannya di Timur Tengah tanpa kunjungan ke Israel. Ada harapan bahwa kunjungannya dapat meningkatkan kemungkinan kesepakatan gencatan senjata atau dimulainya kembali bantuan kemanusiaan ke Gaza, yang telah dicegah Israel selama lebih dari dua bulan.
Seorang pejabat Israel mengatakan bahwa Netanyahu terus melakukan kontak sepanjang hari dengan tim perunding gencatan senjata di Doha, Qatar, dan utusan AS Steve Witkoff, dan menginstruksikan tim tersebut untuk tetap di sana. Pejabat tersebut berbicara tanpa menyebut nama, karena dia tidak berwenang untuk membahas negosiasi sensitif tersebut dengan media.
Hamas, yang membebaskan seorang sandera Israel-Amerika sebagai isyarat niat baik sebelum kunjungan Trump, bersikeras pada kesepakatan yang mengakhiri perang dan mengarah pada penarikan pasukan Israel – sesuatu yang menurut Israel tidak akan mereka setujui.
Lebih dari 150 orang syahid dalam serangan Israel dalam 24 jam terakhir, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Dikatakan lebih dari 3.000 orang syahid sejak Israel melanggar gencatan senjata pada 18 Maret.
Pada Sabtu sore, serangan Israel menewaskan sedikitnya empat anak di kamp pengungsi Jabaliya di utara, menurut Rumah Sakit al-Awda, yang menerima jenazah tersebut. Tujuh orang lainnya terluka dalam serangan yang menghantam sebuah rumah. Serangan berikutnya di Jabaliya menewaskan empat orang, kata rumah sakit.
"Ini tidak bisa diterima. Sampai kapan? Sampai kita semua mati?" tanya Naji Awaisa yang berkeringat saat dia dan yang lainnya melarikan diri dari Jabaliya dengan membawa barang-barang mereka di jalan-jalan yang dipenuhi bangunan-bangunan yang hancur. Asap akibat serangan udara membubung di kejauhan.
Serangan udara di sekitar Deir al-Balah di Gaza tengah menewaskan 14 orang, dan jenazah tiba di rumah sakit al-Aqsa. Satu serangan terhadap sebuah rumah menewaskan delapan orang, termasuk orang tua dan empat anak. Sebuah serangan terjadi di luar sebuah sekolah yang menampung para pengungsi di Kota Gaza, menewaskan empat orang, kata layanan darurat Kementerian Kesehatan Gaza.
Sementara itu, Brigade Izzuddin al-Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), menyatakan telah bentrok dengan pasukan Israel yang berlindung di sebuah rumah di lingkungan Shujaiya, menewaskan dan melukai dua tentara lima hari lalu.
Brigade Al-Quds, sayap militer gerakan Jihad Islam, mengumumkan bahwa mereka telah menembak jatuh pesawat tak berawak strategis Super Heron Israel, menggunakan senjata yang sesuai, ketika terbang di atas Kota Gaza.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel, dengan dukungan penuh Amerika, telah melakukan genosida dan perang kelaparan di Jalur Gaza, menyebabkan sekitar 173.000 warga Palestina tewas dan terluka, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak dan wanita, dan lebih dari 11.000 orang hilang.
Semakin banyak pakar genosida terkemuka di dunia yang percaya bahwa tindakan Israel di Gaza merupakan genosida, menurut penyelidikan oleh surat kabar Belanda NRC. Media itu mewawancarai tujuh peneliti genosida terkenal* dari enam negara – termasuk Israel – yang semuanya menggambarkan kampanye Israel di Gaza sebagai genosida.
Banyak yang mengatakan rekan-rekan mereka di lapangan juga berbagi penilaian ini. “Bisakah saya menyebutkan nama seseorang yang karyanya saya hormati dan tidak menganggapnya sebagai genosida? Tidak, tidak ada argumen tandingan yang mempertimbangkan semua bukti,” kata peneliti Israel Raz Segal kepada NRC.
Profesor Ugur Umit Ungor dari Universitas Amsterdam dan NIOD Institute for War, Holocaust and Genocide Studies mengatakan bahwa meskipun ada peneliti yang mengatakan bahwa ini bukan genosida, “Saya tidak mengenal mereka”.
Media Belanda itu mengulas 25 artikel akademis terbaru yang diterbitkan dalam Journal of Genocide Research, jurnal terkemuka di bidang tersebut, dan menemukan bahwa “delapan akademisi dari bidang studi genosida melihat genosida atau setidaknya kekerasan genosida di Gaza”.
“Dan hal ini luar biasa dalam bidang yang tidak memiliki kejelasan mengenai apa sebenarnya genosida itu sendiri,” katanya. Organisasi-organisasi hak asasi manusia terkemuka juga telah mencapai kesimpulan bahwa Israel melakukan genosida. Pada bulan Desember 2024, Amnesty International menjadi organisasi besar pertama yang menyimpulkan bahwa Israel telah melakukan genosida selama perangnya di Gaza, sementara Human Rights Watch secara lebih konservatif menyimpulkan bahwa "tindakan genosida" telah dilakukan.
Francesca Albanese, pakar terkemuka PBB mengenai Palestina, menulis dua laporan tahun lalu yang menyatakan bahwa genosida sedang terjadi di Gaza.
Studi genosida sebagai sebuah disiplin ilmu tidak memperlakukan isu ini sebagai sebuah permasalahan biner, kata laporan NRC. Alih-alih mempertanyakan apakah genosida telah terjadi atau tidak, para ahli melihatnya sebagai proses bertahap. “Bertentangan dengan opini publik, para peneliti genosida terkemuka secara mengejutkan sepakat: pemerintahan Netanyahu, menurut mereka, sedang dalam proses tersebut – menurut mayoritas, bahkan dalam tahap akhir,” penyelidikan tersebut menyimpulkan. “Itulah sebabnya sebagian besar peneliti tidak lagi hanya berbicara tentang 'kekerasan genosida', namun tentang 'genosida'.”
Laporan tersebut mencatat bahwa bahkan para peneliti yang sebelumnya ragu-ragu untuk menggunakan istilah tersebut telah mengubah pendirian mereka, seperti Shmuel Lederman dari Universitas Terbuka Israel. Hal ini juga mengacu pada pendapat pakar hukum internasional Kanada William Schabas bahwa Israel melakukan genosida, meskipun ia dianggap konservatif dengan pelabelan genosida.
Dalam sebuah wawancara dengan Middle East Eye bulan lalu, Schabas mengatakan kampanye Israel di Gaza “benar-benar” merupakan genosida. “Tidak ada yang sebanding dalam sejarah saat ini,” kata Schabas. “Perbatasan ditutup, masyarakat tidak punya tempat untuk pergi, dan kehancuran yang mereka lakukan membuat kehidupan di Gaza menjadi mustahil. “Kami melihat hal ini dipadukan dengan ambisi, yang terkadang diungkapkan dengan sangat terbuka oleh Trump dan Netanyahu, dan oleh Israel, untuk mengkonfigurasi ulang Gaza menjadi semacam Riviera Mediterania bagian timur.”