MPR: UU di Bidang SDA, SDM, dan Bisnis Perlu Dikaji Ulang

Republika/ Yasin Habibi
Wakil Presiden Jusuf Kalla (tengah), bersama Ketua MPR Zulkifli Hasan (kanan), dan Ketua DPD Oesman Sapta Odang (kiri) saat membuka Simposium Nasional di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/7).
Rep: Amri Amrullah Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Lembaga Pengkajian MPR dan Ketua Steering Comitte, Didik J. Rachbini memaparkan hasil kajian penerapan ekonomi nasional merujuk aturan dalam konstitusi Undang Undang 45. Dalam pemaparannya Didik menyampaikan perlunya mengkaji ulang beberapa aturan perundang undangan.

Menurutnya, sistem Ekonomi Pancasila bisa diwujudkan dengan membuat, mengkaji, menata ulang tiga kelompok bidang perundang-undangan. Diantaranya perundang-undangan bidang pengelolaan sumber daya alam, bidang pengembangan sumber daya manusia, dan bidang ketatalaksanaan dunia usaha.

Hal ini disampaikan Didik di simposium nasional MPR bertema, 'Sistem Perekonomian untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945' di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (12/7).

Didik J. Rachbini mengungkapkan Lembaga Pengkajian MPR mendapat tugas untuk mengkaji ekonomi konstitusi. Terutama terkait pasal-pasal ekonomi yang harus dikaji dan ditinjau implementasinya. Melakukan kajian itu, Lembaga Pengkajian telah melakukan serangkaian kegiatan di antaranya diskusi intenal, dialog pakar, FGD bekerjasama dengan perguruan tinggi, round table discussion, dan simposium nasional.

Lembaga Pengkajian menemukan sedikitnya delapan aspek dalam konstitusi yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial, di antaranya Pasal 1 ayat 2, pasal 11 ayat 2, pasal 23 ayat 1, pasal 27 ayat 2, pasal 28H ayat 1, pasal 33 ayat 3, pasal 33, pasal 34. “Kesimpulannya, ekonomi konstitusi sangat bernas dan penuh dengan pesan-pesan kesejahteraan,” ujar Didik dalam keterangan tertulis MPR.

Namun faktanya, dilihat dari Economic Islamicity Index (EII,-mengukur keadilan ekonomi, kesejahteraan dan kesempatan kerja, dan penerapan praktik ekonomi dan finansial yang Islami,-red), Indonesia berada pada urutan nomor 104 dari 208 negara. Dilihat dari social progress index 2014 yang mengukur pemenuhan kebutuhan pokok manusia, fondasi bagi well being dan kesempatan (oportunitas), Indonesia berada pada urutan 88 dari 132 negara.

“Sudah sejak beberapa dasawarsa, sebesar 80 persen GDP dihasilkan oleh Jawa-Sumatra dengan sisanya pulau Indonesia lainnya. Kondisi infrastruktur ekonomi, fasilitas pengembangan sosial lebih tersedia di Jawa-Sumatra. Ketimpangan pembangunan ini telah memicu sengketa antar daerah dengan pusat dan belum terkendali penuh hingga kini,” kata Didik.

Selain itu, sejak beberapa tahun terakhir, kesenjangan sosial tercermin dari tingginya Gini Coefficient sekitar 0,4. Sedangkan indeks gini untuk pemilikan aset, terutama tanah sangat timpang, yakni sekitar 0.67 – 0,7. Indikator-indikator itu menunjukkan bahawa ekonomi Pancasila belum terwujud.

“Untuk mewujudkan ekonomi Pancasila maka peran negara adalah menata kembali, mengkaji, dan mengkoreksi UU. Lembaga Pengkajian sudah melihat banyak sekali UU yang mengacu pada Pasal 33 tetapi sejatinya bertentangan dengan UUD tersebut,” ujarnya.

Untuk ke depan, Lembaga Pengkajian menyarankan untuk mengkaji tiga kelompok perundang-undangan. Pertema, perundang-undangan bidang pengelolaan sumber daya alam (SDA). Kedua, perundang-undangan di bidang pengembangan sumber daya manusi (SDM). Ketiga, perundang-undangan di bidang ketatalaksanaan dunia usaha.

Didik memberi contoh di antaranya UU Penataan Ruang, Reforma Agraria, Pengelolaan Sumberdaya Mineral, pengaturan bidang kehutanan, pengembangan sumber daya manusia (pendidikan, kesehatan, buruh, persaingan usaha, dan industri.


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler