Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Terkendala
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah sepakat untuk menghadirkan sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN. Keputusan politik di MPR untuk mewujudkan GBHN sudah selesai. Namun, langkah mewujudkan sistem perencanaan nasional model GBHN itu masih terbentur pada masalah yuridis apakah dalam bentuk Ketetapan (Tap) MPR atau Undang-Undang (UU).
“Posisi politik terakhir MPR adalah semua fraksi dan kelompok DPD sepakat menghadirkan sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN. Keputusan politik di MPR sudah selesai. MPR sepakat untuk menghadirkan sistem perencanaan pembangunan model GBHN atau apapun namanya. Tapi masalahnya bagaimana meletakan haluan negara dalam bentuk yuridisnya. Apakah dalam Ketetapan MPR atau UU,” kata Ketua Badan Pengkajian MPR Bambang Sadono, ketika memberi pengantar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Model GBHN sebagai Haluan Penyelenggara Negara di Ruang GBHN, Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (27/9).
FGD ini diikuti delegasi dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), dan Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas). Tampak hadir pimpinan dan anggota Badan Pengkajian di antaranya Martin Hutabarat (Fraksi Gerindra), Rambe Kamarulzaman (Fraksi Partai Golkar), Mujib Rohmat (Fraksi Partai Golkar), Djoni Rolindrawan (Fraksi Partai Hanura), Okky Asokawati (Fraksi PPP), AM Fatwa (DPD), Abdul Wachid (Fraksi Gerindra).
Bambang mengungkapkan Badan Pengkajian MPR juga membahas pilihan untuk haluan jangka panjang melalui Ketetapan MPR. Sedangkan terjemahan haluan negara dalam strategi pembangunan yang berjangka pendek lima tahun atau sepuluh tahun bisa di dalam bentuk UU. “Pilihan itu pun memimbulkan masalah baru. Kalau ingin dalam bentuk Ketetapan, apakah MPR mempunyai kewenangan untuk membuat Tap MPR?” tanyanya.
Bahkan dalam diskusi terakhir, lanjut Bambang, langkah terobosan yang bisa dilakukan adalah mencantumkan tugas MPR untuk menetapkan GBHN dalam revisi UU MD3. Menurutnya, mumpung sekarang dilakukan revisi UU MD3, sepakat dalam revisi UU MD3 itu agar dicantumkan tugas MPR antara lain adalah menetapkan GBHN. Jika pasal itu bisa dimasukkan maka tidak perlu menunggu amandemen UUD. Tetapi MPR diberi tugas untuk menetapkan GBHN.
Selain landasan yuridis, Bambang juga mengungkapkan persoalan berikutnya, yaitu bagaimana isi dari GBHN. “Bagaimana kita memberi landasan yuridis GBHN ini dalam Tap MPR atau UU kalau bentuk atau isinya saja kita belum tahu. Maka sekarang kita akan mempertanyakan kira-kira apa isi GBHN itu. Apakah bisa dipisah antara isi GBHN untuk jangka panjang 25 sampai 50 tahun dalam bentuk Tap MPR, atau yang lebih pendek dalam bentuk UU. Tapi yang terpenting adalah isinya,” katanya.
“Lalu siapa yang membuat GBHN siapa? Kalau haluan negara ditetapkan oleh MPR maka menjadi wilayah MPR. Apakah MPR akan menunjuk satu tim atau panitia di antara para anggota atau membentuk tim asistensi dengan mengambil para pakar. Mungkin juga diserahkan kepada pemerintah. Atau, tim dari perguruan tinggi. Inilah pilihan-pilihan,” ujar Bambang.
Menurut Bambang, pemerintah juga sangat serius menanggapi wacana GBHN ini. Pemerintah telah menunjuk Lemhanas untuk mengkaji wacana ini. Bappenas juga sudah menyiapkan konsep. FGD ini mensinkronkan untuk menjadi pilihan. Keputusan politik di MPR sudah selesai. Menurutnya MPR sepakat menghadirkan sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN atau apapun namanya. Yang sekarang perlu dirancang adalah isi dari GBHN.