Pakar Sebut Penundaan Pilkada Bisa Lewat Gugatan UU

UU Pilkada menjadi dasar hukum penundaan menjadi 9 Desember 2020.

Antara/Galih Pradipta
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar
Rep: Mimi Kartika  Red: Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan, desakan penundaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak lanjutan 2020 memungkinkan ditempuh melalui uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 atas perubahan UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU itu menjadi dasar hukum penundaan menjadi 9 Desember 2020.

Baca Juga


"Proses penundaan pilkada ke 9 Desember itu sendiri kan diterbitkan dalam bentuk perppu dan itu sudah dijadikan undang-undang artinya menurut saya seharusnya masih ada kemungkinan untuk menguji ke MK," ujar Zaenal saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (4/10).

Ia mengaku bingung atas alasan keputusan penundaan pilkada dari 23 September menjadi 9 Desember 2020. Salah satu parameter pertimbangannya ialah pemerintah berharap kasus terpapar Covid-19 di Indonesia mulai menurun di Agustus, September, dan Oktober.

Namun hingga kini, kasus penambahan harian infeksi Covid-19 justru meningkat. Dengan demikian, alasan penundaan pilkada ke Desember menjadi tidak relevan.

"Salah satu alasan dulu di balik penundaan ke Desember itu kan sudah rusak sebenarnya sudah hancur alasan itu," kata Zaenal.

Menurut dia, untuk mencegah terjadinya pelanggaran protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19, pilkada lebih baik ditunda. Sebab, penindakan pelanggaran dan ketentuan sanksi dengan menggunakan UU lain di luar UU Pilkada tentu harus melibatkan beragam pihak yang memiliki kewenangan.

Akhirnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak dapat menjatuhkan sanksi tegas kepada pelanggar protokol kesehatan dengan mudah karena penindakannya berada di ranah kepolisian. Sanksi yang bisa dikenakan Bawaslu hanya sekadar pembubaran saat pelanggaran protokol kesehatan itu terjadi.

"Saya sih sebenarnya begini, sanksi itu kan di ujung, andai kata di awalnya yang diperbaiki itu akan jauh lebih baik dalam artian kalau pilkada yang ditunda kan selesai, kita tidak perlu bicara soal sanksi," kata Zaenal.

Sebelumnya, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meminta pemerintah, penyelenggara pemilihan, dan DPR, tidak menutup diri atas kemungkinan penundaan Pilkada 2020. Sebab, UU Nomor 6 Tahun 2020 menyebutkan, penundaan pilkada dapat dilakukan apabila pandemi Covid-19 belum berakhir.

"Penyebab penundaan pemungutan suara Pilkada 2020 dari September ke Desember adalah karena bencana nonalam Covid-19. Tapi itu juga bisa ditunda kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemi covid 19 belum berakhir," ujar Titi beberapa waktu lalu. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler