REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar
Endemi korona muncul juga di Indonesia. Jokowi telah mengumumkannya, setelah pekan-pekan sebelumnya melakukan karantina terhadap warga yang dijemput dari Wuhan. Antisipasi penanganan dilakukan, seperti halnya dulu di tahun 1920-an-1930-an melakukan antisipasi penanganan wabah malaria di Jakarta.
Di masa itu, kelambu dibagikan, warga dilarang keluar rumah setelah hari gelap. Warga disarankan berlindung di dalam kelambu, namun tak banyak yang menjalankan saran ini. Orang-orang Eropa disiplin menggunakan kelambu. Namun oleh warga pribumi, kelambu itu malah dibuat jadi baju, atau jika pun dipakai dibiarkan dalam posisi kelambu tetap terbuka. Setidaknya itu yang dilaporkan De Indische Courant edisi 21 Juli 1938.
Pada semester pertama 1938 itu, tercatat ada 462 kasus kematian akibat malaria. Di Januari ada 51 kasus, di Februari ada 37 kasus, Maret 68 kasus, April 58 kasus, Mei 120 kasus dan Juni 128 kasus. Tanjung Priok disebut sebagai daerah yang paling banyak diserang malaria, sehingga ada larangan bepergian ke Priok pada malam hari.
Kenapa malam hari? Jumlah nyamuk malam hari sangat banyak, sementara tak ada risiko serangan nyamuk di siang hari.
Jadwal-jadwal kunjungan ke Klein Zandvoort harus dibatalkan. Zandvoort adalah pantai kebanggaan di Belanda, yang kemudian dipakai untuk nama pantai di Priok. Warga menyebutnya Pantai Sampur. Tak jauh dari Pantai Sampur ada Yacht Club, sehingga jadwal kunjungan ke Yacht Club juga harus dibatalkan. Yacht Club kini merupakan Gelanggang Olahraga Air Bahtera Jaya. Namun, larangan ini banyak yang melanggarnya.
Pada 1929, sudah ada kasus malaria di Priok. Di Priok ada rawa yang luas dan kolam ikan yang besar di sebelah timurnya. Ada upaya membunuh nyamuk di rawa dengan cara diberi minyak, tetapi memerlukan biaya yang besar. Peraturan baru pun disiapkan untuk pengelolaan kolam renang dan kolam ikan.
Jawa Timur sudah memiliki peraturan tentang hal ini, namun Jakarta belum memiliki, sehingga perlu segera dibuatkan. Drainase kolam menjadi catatan untuk diperhatikan demi menjaga kolam dalam kondisi baik sehingga tidak menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Pada Juni 1929, ada 200 kolam ikan di Luar Batang dan Kampung Bandan yang harus dibersihkan dan 170 kolam ikan di Muara Baru, yang juga harus dibersihkan.
Kondisi rawa pun diteliti, baik saat kondisi basah maupun kondisi kering. Ada luasan rawa yang sudah diuruk pada 1920-an untuk kepentingan pelabuhan. Data 1925 soal drainase di areal rawa yang sudah diuruk dijadikan panduan penelitian. Pemeliharaan dan pembersihan saluran drainase itu terus dipantau. Memerlukan tenaga lebih ketika penelitian menjangkau areal rawa yang belum diuruk. Pemeliharaan drainase, pembersihan kolam, mampu mengurangi kasus malaria pada 1930. Pada 1933, pasien terus berkurang dengan pemeliharaan drainase itu.