REPUBLIKA.CO.ID, diasuh oleh Dr Oni Sahroni, MA, Anggota Dewan Syariah Nasional MUI
------------
Assalamu'alaikum wr. wb.
Ustaz, terinfo wabah virus corona (Covid-19) terjadi di berbagai daerah. Banyak emak-emak berinisiatif membeli bahan makanan dan alat kesehatan untuk keperluan selama waktu tertentu sebagai antisipasi, apakah itu termasuk menimbun (ihtikar/monopoli) yang dilarang dalam Islam? Mohon penjelasan, Ustaz!
Fadli - Jakarta
-------
Wa'alaikumussalam wr. wb.
Dari aspek fikih muamalah, stok dan penimbunan itu bisa dibedakan dalam dua bagian berikut. Pertama, jika stok yang dimaksud adalah stok barang untuk keperluan pribadi sebagai antisipasi keadaan sulit mendapat barang, hanya dalam jumlah terbatas, tidak untuk diperjualbelikan, dan tidak menyebabkan kelangkaan itu diperkenankan. Karena praktik tersebut bukan untuk mendapatkan keuntungan berlebih akibat kelangkaan barang, tetapi sekedar untuk persiapan konsumsi sendiri.
Sebagaimana keteladanan Nabi Yusuf yang dikisahkan dalam firman Allah SWT: Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan". (QS. Yusuf : 47).
Kedua, jika stok yang dimaksud adalah penimbunan yang dilakukan oleh seseorang atau supplier untuk dijual kembali, mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga barang, maka itu adalah monopoli atau ihtikar (rekayasa dalam supply) yang dilarang dalam Islam.
Di mana stok tersebut telah memenuhi kriteria ihtikar: (a) Mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stok (entry barriers). (b) Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sebelum muculnya kelangkaan.
Oleh karena itu, menyimpan stok barang untuk keperluan persediaan tidak dilarang dalam Islam. Yang dilarang adalah ihtikar, mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi (monopoly’s rent-seeking).
Sebagaimana juga hadis : Diriwayatkkan dari Said bin al-Musayyib, ia berkata: "Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa melakukan monopoli, maka ia berdosa". (HR. Muslim).
Abu Yusuf dan asy-Syaukani menjelaskan, bahwa monopoli itu terlarang, baik untuk kebutuhan primer ataupun sekunder. (asy-Syaukani, Nail al-Authar, 5/2137).
Sebagaimana pengertian ihtikar (monopoli), yaitu penjual mengurangi pasokan agar harga produk yang dijualnya naik. Lebih jelasnya, dalam mazhab Syafi'i dan Hanbali dijelaskan lebih detail: "Menimbun barang yang telah dibeli pada saat harga bergejolak tinggi untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi pada saat dibutuhkan oleh penduduk setempat atau lainnya".
Selain itu, praktik ini merugikan kepentingan masyarakat umum karena mereka tidak bisa mendapatkan barang yang dibutuhkan. Praktik ini juga bertentangan dengan transaksi bisnis yang seharusnya mengikuti supply and demand.
Sebagaimana juga Fatwa MUI Nomor14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19: "Tindakan yang menimbulkan kepanikan dan/atau menyebabkan kerugian publik, seperti memborong dan/atau menimbun bahan kebutuhan pokok serta masker dan menyebarkan informasi hoax terkait Covid-19 hukumnya haram".
Berarti jika seorang pedagang minyak tahu bahwa kebutuhan minyak pada hari raya akan meningkat, kemudian jauh-jauh hari sebelum hari raya ia menyimpan sebagian minyaknya. Pada hari raya ia menjual minyaknya dengan harga pasar. Maka apa yang dilakukan oleh pedagang tersebut tidak dikategorikan sebagai ihtikar karena tidak mengupayakan kelangkaan barang dan menjualnya pun dengan harga pasar.
Selanjutnya, aturan dan regulasi dari otoritas terkait menjadi referensi. Karena Otoritas yang mengatur dan mengawasi agar pembelian dan stok barang yang dilakukan oleh masyarakat ini normal, tidak merugikan pasar. Begitu pula melarang para supplier memanfaatkan kondisi sulit ini untuk melakukan monopoli, sekaligus otoritas menyediakan sarana dan prasarana agar hajat masyarakat akan barang barang tersebut terpenuhi.
Semoga Allah SWT melindungi bangsa dan negara tercinta ini.