Senin 06 Apr 2020 03:15 WIB

Covid-19 Menguji Kualitas Pemimpin Negara

Pemimpin negara mempunyai cara dan pilihan sikap dalam masalah Covid-19.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Hingga Sabtu (04 April) lalu, warga dunia  yang terinfeksi Virus Corona (Covid-19) sudah berjumlah 1 juta dan 117 ribu orang. Sekitar 60 ribu di antaranya meninggal dunia. Menurut perkiraan sejumlah ahli, jumlah itu masih akan terus bertambah. Yang menyedihkan lagi hingga kini belum ada tanda-tanda kapan virus yang mematikan itu akan berakhir.

Belum ada satu kesepakatan antar-pemimpin negara mengenai cara yang paling jitu untuk dapat menghalau virus yang sangat ganas ini. Ada yang menerapkan cara yang sangat keras, misalnya dengan cara lockdown suatu daerah atau bahkan negara. Cina misalnya. Namun, cara yang sama dengan Cina, ketika diterapkan oleh beberapa negara, ternyata hasilnya tidak sama. Di Italia, Spanyol, India, dan beberapa negara lain, korban Virus Corona ini masih terus berjatuhan.

Lalu ada yang menerapkan cara yang agak lunak. Misalnya Korea Selatan. Namun, sekali lagi, cara yang dipakai di Korea Selatan, ketika diterapkan di negara lain, hasilnya berbeda. Virus Corona terus memakan korban.

Karena belum ada cara jitu yang bisa dicopy-paste, banyak negara atau pemimpin negara yang kemudian mengambil cara-cara yang tidak biasa, cara-cara yang berbeda dengan yang disebutkan di atas. Bahkan terkesan aneh alias ayak-ayak wae. Di Panama misalnya, mereka menerapkan isolasi yang sangat ketat berdasarkan jenis kelamin. Dari hari Senin hingga Sabtu, warga diperbolehkan keluar rumah selama dua jam setiap hari. Namun, ya itu tadi, berdasarkan jender.

Pada hari Senin, Rabu, dan Jumat adalah jatah kaum perempuan Panaman boleh keluar rumah untuk membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari. Lalu pada Selasa, Kamis, dan Sabtu adalah giliran kaum laki-laki yang boleh keluar rumah. Ingat hanya dua jam per hari. Sedangkan pada hari Ahad, tidak seorangpun diizinkan meninggalkan rumah kecuali dalam keadaan darurat, yang ditentukan oleh yang berwajib. ‘’Langkah-langkah ini hanya bertujuan menyelamatkan hidup Anda,’’ ujar Menteri Keamanan Panama Juan Pino yang disiarkan televisi setempat beberapa hari lalu.

Belum jelas bagaimana pemisahan lelaki dan perempuan di tempat umum akan meningkatkan kemampuan negara di Amerika Tengah itu membendung laju penularan Virus Corona. Hingga kini lebih dari 1.475 warga Panama yang positif Covid-19, 40 lebih di antaranya meninggal dunia.

Di Kolombia, beberapa kota negara itu menerapkan sistem nomor terakhir dari angka kartu identifikasi pribadi mereka alias kartu tanda penduduk. Misalnya, seseorang yang angka akhir KTPnya ‘nol atau tujuh atau empat’ dapat keluar rumah dalam beberapa jam pada hari Senin. Lalu pemilik  nomor KTP ‘satu atau delapan atau lima’  bisa keluar rumah pada hari Selasa, dan begitu seterusnya. Beberapa daerah di Bolivia juga mengikuti metode di negara tetangganya ini.

Presiden Kolombio Ivan Duque telah menerapkan prosedur lockdown mulai 24 Maret lalu. Ia meminta para warga untuk mengisolasi diri di rumah mereka. Bila ingin keluar rumah untuk membeli kebutuhan pokok, beberapa kota menerapkan nomor akhir dari kartu identifikasi pribadi mereka. Duque mengatakan prosedur lockdown adalah keputusan ‘untuk kesehatan dan seumur hidup’ para warganya. Hingga awal bulan ini tercatat lebih dari 1.000 warga positif Corona, sejumlah 17 di antaranya meninggal dunia.

Di Serbia, pihak berwenang di sana mengizinkan para warga untuk pergi berjalan-jalan dengan anjing mereka satu jam setiap hari, dari pukul delapan hingga sembilan malam. Namun, tidak lama kemudian aturan itu dibatalkan meskipun ada protes dari sejumlah pemilik anjing. Menurut seorang dokter hewan, mencegah anjing keluar rumah akan menyebabkan masalah kesehatan, terutama jika anjing-anjing itu memiliki masalah kencing, dan akan menyebabkan masalah terkait dengan kebersihan di rumah.

Belum ada penjelasan dari pihak berwenang tentang kebijakan melarang keluar anjing dan apa hubungannya dengan Virus Corona yang kini juga mewabah di Serbia. Hingga awal bulan ini terdapat 1.060 kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19, 28 orang di antaranya meninggal dunia, termasuk seorang uskup gereja ortodoks dan sekretaris negara. Untuk mengekang penularan virus, pemerintah Serbia telah menyatakan keadaan darurat, menutup semua restoran dan kafe, memberlakukan jam malam mulai pukul 5 malam hingga 5 pagi, dan menutup perbatasan negara.

Di Belarusia, keputusan Presiden Alexander Lukashenko mengejutkan banyak orang ketika ia menolak menerapkan karantina wilayah atau lockdown. Bahkan ia mengejek orang-orang yang mengisolasi diri karena, katanya, dia belum melihat virus ‘terbang di udara’. Sang presiden justru menyerukan kepada para warganya untuk banyak minum vodka dan mandi sauna secara rutin guna menghadang virus itu.

Kepada wartawan televisi yang meliput pertandingan hoki es di ruang tertutup di Minsk, ibukota Belarusia, Presiden Lukashenko menyatakan, ‘’Kerumunan di sini sangat aman karena berada di tempat dingin.’’

Hingga kini belum ada bukti ilmiah apakah salju bisa mematikan Virus Corona. Namun, berbeda dengan rekan-rekannya di Eropa, ia tidak melarang acara-acara olahraga. ‘’Tidak ada virus di sini. Tidak terlihat terbang di udara, es di sini adalah senjata terbaik melawan virus,’’  kata sang presiden. Ia pun menyerukan para warganya terus bekerja di ladang dan tidak telat sarapan.

Hingga awal bulan ini dilaporkan sebanyak 94 warga telah positif Corona dengan nol kematian, dan sejumah 32 orang di antaranya dinyatakan sembuh.

Sementara itu di Swedia, yang berwenang di sana tidak mengambil kebijakan Lockdown atau karantina, meskipun dilaporkan lebih dari 4 ribu warga telah terkena Virus Corona. Ini tentu sangat berbeda dengan kebijakan negara-negara Eropa lain. Pemerintah meyakini bahwa warga Swedia  akan bertindak secara rasional dan percaya bahwa mereka akan membuat keputusan yang tepat.

Sejauh ini pemerintah hanya melarang pertemuan lebih dari 50 orang pada hari Ahad. Namun, sekolah-sekolah masih tetap buka. Bar-bar dan restoran tetap menyediakan layanan reguler dan masyarakat pun hidup sehari-hari seperti biasa.

Di Amerika Serikat (AS), Presiden Donald Trump pada Selasa lalu memperingatkan kepada para warganya bahwa selama dua pekan mereka mengalami hidup yang ‘sangat, sangat menyakitkan’, dalam perang melawan Virus Corona. ‘’Itu akan sangat menyakitkan. Kita akan melewati dua pekan yang sangat, sangat menyakitkan,’’ ujar Trump ketika menyampaikan konferensi pers hariannya di Gedung Putih tentang perkembangan dalam perang melawan Covid-19.

Trump menggambarkan pandemi Corona sebagai ‘momok’. Ia mengatakan, ‘’Saya ingin setiap orang Amerika siap (menghadapi)  hari-hari yang sulit di masa depan.’’

Trump menyampaikan pernyataannya itu setelah ia menerima laporan pada hari itu bahwa warga Amerika yang positif Corona sudah melebihi 3 ribu orang. Jumlah itu, menurut laporan, akan terus bertambah.

Ketika bangun pagi pada Selasa (31/03) lalu, rakyat Amerika dikejutkan dengan berita bahwa warga yang meninggal dunia terinfeksi  Virus Corona sudah melebihi angka 3 ribu. Angka ini lebih besar dari jumlah korban tewas ketika terjadi serangan teroris terhadap menara kembar World Trade Center di New York pada 11 September 2001. Namun, angka ini masih lebih kecil dari perkiraan Dr Deborah Perks, kordinaor kelompok kerja untuk memerangi virus di AS. Ia mengatakan jumlah kematian akibat Covid-19 di AS dapat mencapai 200 ribu orang, bahkan jika prosedur social distancing tidak diikuti.

Pernyataan Trump yang mengajak rakyatnya untuk bersiap-siap hidup susah selama dua pekan seharusnnya ditanggapi dengan baik. Sebab, rakyat butuh ketegasan dan kepastian para pemimpinnya. Rakyat tentu bisa menerima diajak hidup susah asal ada batasnya. Sayangnya, Trump dikenal sebagai ‘yang selalu berubah-ubah pernyataannya, terutama dalam kasus Virus Corona ini. Ia suka ngeles. Bahkan sering menyalahkan pihak lain.

Trump selalu menyebut virus ini sebagai Virus Cina, yang diikuti Menlunya Mike Pompeo dengan menyebut sebagai Virus Wuhan, padahal lembaga kesehatan dunia WHO telah secara resmi menamai Virus Corona ini sebagai Covid-19. Sebutan ini  mereka sampaikan karena kejengkelannya pada Cina yang mereka nilai tidak terbuka terhadap penanganan virus ini. Belakangan Trump juga menilai Cina sengaja menutupi jumlah sesungguhnya dari korban Virus Corona. Ia tampaknya jengkel betul ‘kok bisa jumlah yang positif Corona di Amerika lebih besar dari Cina. Berbagai pernyataan kontroversial Trump itu tentu memanaskan hubungan dua negara, yang sebelumnya memang sudah panas lantaran perang dagang.

Pada awalnya Trump pun meremehkan Virus Corona ini ketika mulai menyebar di sejumlah wilayah di Amerika. Ia berulangkali menyatakan ‘tak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya di bawah kendali dan virus akan menghilang di bulan hangat, meskipun Virus Corona tetap menyebar di negara-negara tropis seperti Singapura, Indonesia, dan Malaysia.

Pada akhirnya, Coronavirus atau Covid-19 ini akan menguji kualitas kepemimpinan para pemimpin negara bagaimana menangani virus yang mematikan ini. Termasuk dampak-dampak turunannya, dari masalah sosial, keamanan, poliitik, hingga masalah ekonomi. Rakyat dan sejarah yang akan menjadi saksi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement