Selasa 14 Apr 2020 06:22 WIB

Gagap Menghadapi Wabah Corona

Menghadapi pandemi corona, kebanyakan pemerintah di berbagai negara gagap.

Azyumardi Azra
Foto: Republika
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra

Wabah pandemi secara global sampai pertengahan pekan ini (8/4/2020) sudah menjangkiti sekitar satu setengah juta warga dunia dan menewaskan lebih 80 ribu orang. Penyebarannya tidak bisa terbendung; tampaknya perjalanan waktu saja yang membuat kurva penyebaran wabah corona ini sedikit demi sedikit menjadi landai.

Menghadapi pandemi corona, kebanyakan pemerintah di berbagai negara gagap dan megap-megap untuk menemukan cara yang mereka anggap efektif mengatasi wabah corona. Sementara itu, korban terus berjatuhan, mereka masih saja tetap gagap menghadapi wabah corona.

Bagaimana Pemerintah Indonesia? Semula ketika mencermati perkembangan cepat wabah corona dari Wuhan, Cina Daratan yang kemudian segera menyebar ke Korea Selatan sepanjang Januari-Februari, kalangan pejabat tinggi Indonesia mengeluarkan berbagai pernyataan yang bernada mengabaikan dan memandang enteng Covid-19.

Tidak perlu mengulangi berbagai pernyataan mengentengkan dan bernada takabur itu di sini. Yang jelas sikap meremehkan membuat Pemerintah Indonesia lalai mempersiapkan negara dan warganya menghadapi wabah korona. Indonesia kehilangan waktu dua bulan sebelum akhirnya Presiden Jokowi pada 2 Maret mengumumkan adanya dua warga Indonesia yang positif mengidap virus corona.

Sejak pengakuan itu, Pemerintah Indonesia terlihat gagap menghadapi musibah wabah korona yang menyebar cepat ke seluruh penjuru Tanah Air. Bukan hanya itu, Indonesia seolah kehilangan kepemimpinan; hampir tidak terlihat ekspresi kepemimpinan kuat yang diperlukan pada masa krisis; yang mampu membawa negara dan bangsa keluar dari bencana lebih parah.

Sebaliknya, yang terjadi adalah silang pendapat di antara para pejabat tinggi: antara Presiden dan menteri, antara sesama menteri, antara jubir presiden dan menteri; antara pemerintah pusat di Jakarta dan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten.

Semua ini menciptakan apa yang disebut Wijayanto sebagai 'blunder' Pemerintahan Jokowi. Ada 13 pernyataan blunder pada masa prakrisis; empat blunder pada awal krisis; dan 20 pernyataan blunder pada masa krisis (Center for Media and Democracy, LP3ES: 7/4/2020). Fenomena ini menyebabkan peningkatan sentimen negatif (66,3 persen) terhadap pemerintah seperti diungkap Riset Big Data Indef (31/3/2020).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement