REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Nur Aminah*)
Saya menerima pesan pribadi seorang kawan beberapa waktu lalu. Intinya, dia menawarkan panci dimsum miliknya. Tak seperti biasa, tawaran barang kali ini menyulut emosi saya. Barang bekas pakai itu dilegonya cukup murah, Rp 250 ribu bonus tiga set klakat bambunya!
Perasaan saya berkecamuk. Saya tahu betul, panci bersusun itu menjadi salah satu barang berharga modal dia berjualan dimsum. Tanpa saya tanya kenapa dijual, dia lantas curhat. Kantin sekolah tempatnya berdagang sudah sebulan lebih tutup. Anak sekolah dan guru-guru, semuanya pindah aktivitas belajar dan mengajar dari rumah. Padahal, dari situlah perputaran uang yang dilakoninya selama hampir tiga tahun.
Sebetulnya, dia bisa saja berjualan dari rumah. Namun alasan rumah kontrakannya yang berlokasi di mulut gang, menurut dia kurang stategis. Khawatir tak akan ada yang membeli dimsum, dia pun memilih menjual properti andalannya itu. Dia pusing memutar otak untuk membayar sewa petakan yang nilainya dua kali harga panci dimsum.
Selain berjualan di kantin sekolah, dia menyumplai dimsum di salah satu kedai kampus, dan sebuah warung. Sejak wabah pandemi Covid-19 merebak, satu demi satu kedai dan warung itu juga harus tutup.
Saya bisa merasakan kegalauannya. Dan di luar sana, kini ada banyak yang senasib. Tiba-tiba saja, harus kehilangan sumber pundi-pundi rupiah. Jualan sepi, tak ada pembeli, karena orang-orang harus di rumah saja.
Bagi yang punya sudah terbiasa berjualan secara daring, memanfaatkan media sosial, kondisi ini mungkin masih bisa diakalinya. Memperbanyak promosi, berjualan di grup-grup Whatsapp, melebarkan jaringan dan lainnya, bisa menjadi solusi.
Saya menemukan, ada sejumlah orang-orang kreatif, inovatif dengan semangat yang tetap terjaga mencoba membuat gebrakan. Melalui komunitas UMKM, gerakan bela beli produk teman pun terjalin. Beberapa yang awalnya punya satu dua produk sendiri, kemudian melebarkan sayap menjadi reseller juga. Jadi, sambil menjual produknya sendiri, dia pun sembari menjual produk orang lain.
Tak jarang, transaksi berjalan dengan sistem barter. Intinya, selama halal dan tak merugikan orang lain, di zaman susah semenjak wabah Covid-19 ini datang, ayo dijabanin saja. Maka tak jarang, saya mengenal si A yang tadinya sebagai tukang kue, kini nyambi pula berjualan hasil bumi seperti bawang merah, bawang putih, cabai bahkan daging ayam.
Atau si B, yang tadinya berjualan nasi dan lauk pauk, kini menjajakan pula terigu, minyak goreng, hingga bumbu masak. Ada juga yang awalnya jualan baju, kini meramaikan lapaknya dengan berdagang buah-buahan.
Covid-19 memang telah meluluhlantakkan berbagai sendi kehidupan. Namun tak boleh menyerah. Gerakan UKMK dengan bela beli produk teman seperti ini harus tetap berjalan.
Pemerintah sebetulnya telah merancang pula gerakan untuk menghidupkan UMKM di antaranya program Belanja di Warung Tetangga. Program ini sebagai upaya menjaga daya beli masyarakat terhadap produk UMKM sekaligus mempermudah memasok kebutuhan sehari-hari masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Bukankah dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ruang gerak kita dipersempit, bahkan untuk sekadar berbelanja ke pasar?
Tak semudah itu meminta warga untuk tidak ke pasar tentu saja. Namun upaya pemerintah mendekatkan sumber bahan pangan ke warung-warung yang disuplai Bulog dan 9 klaster pangan BUMN seperti RNI, Berdikari, Perindo, Perinus, PT Garam, BGR, PPI, SHS, dan Pertani dalam program tersebut sebagai warehouse untuk warung UMKM atau koperasi, bolehlah diapresiasi.
Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM Riza Damanik menyebut program ini tengah diujicobakan ke 50 warung. Targetnya sampai 100 warung diuji coba, baru setelah segera diluncurkan.
Dengan menggandeng BUMN Pangan, program ini diharapkan dapat menyalurkan bahan pokok kepada masyarakat dengan harga yang stabil. Sekaligus memperkuat ekonomi pelaku UMKM khususnya warung.
Sedangkan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) akan diluncurkan program lauk kering. Ini menjadi salah satu program untuk membantu UMKM yang terimbas Covid-19. Penyiapan lauk siap saji dan kering seperti dendeng, abon, rendang yang bisa awet, akan memitrakan UMKM dengan sektor pariwisata. Ini menjadi salah satu program mitigasi dampak Covid-19 terhadap sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Virus Corona telah memaksa kita menjadi pejuang-pejuang tangguh. Berjuang untuk selalu tetap sehat, menjaga imun agar bisa kuat berhadapan dengan virus. Berjuang untuk tetap bisa makan, meski yang berdagang mulai kehabisan pembeli. Berjuang untuk menjaga emosi, karena mulai mati gaya, tak bisa kemana-mana karena terkepung zona merah.
Saya memetik pelajaran dari sang kawan, yang wajahnya kusut ketika terpaksa melego panci dimsumnya, kini mulai bisa tersenyum. Itu, setelah dia menemukan penghasilan lain dengan berjualan masker nonmedis. Jadi, ayolah tetap semangat
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id