Sabtu 06 Jun 2020 16:41 WIB

Pandemi Ketidakpatuhan Sipil

Semakin dilarang seseorang, justru akan semakin melawan.

Rangga Almahendra, PhD, Dosen UGM
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Rangga Almahendra, PhD, Dosen UGM

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rangga Almahendra, PhD, Dosen UGM

Saat semua negara termasuk Indonesia sedang berjuang melawan pandemi virus corona, masih saja banyak masyarakat yang abai, tetap berkerumun tanpa menggunakan masker. Bahkan ada yang melakukan penolakan PSBB secara terbuka. Fakta yang lebih ekstrim kita lihat di Amerika dan banyak negara lain, di tengah pandemi saat ini, justru demonstrasi besar-besaran dan penjarahan massal di pusat perbelanjaan. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Fenomena civil disobedience atau ketidakpatuhan sipil ini bisa kita telaah dengan teori Psikologi Sosial. Menurut Kurt Lewin, Bapak Psikologi Sosial mengatakan perilaku seseorang (behaviour) dipengaruhi aspek pribadi  (personal) dan lingkungan (environment).

Demikian masalah ketidakpatuhan atau disobedience juga bisa dijelaskan dua penyebab utama: faktor psikologis dan juga faktor lingkungan.

Ketidakpatuhan dari aspek psikologis pernah diteliti oleh behavioural scientist bernama Jack Brehm pada 1966 dengan memperkenalkan teori psychological reactance yang mengatakan, "ketika seseorang dibatasi hidupnya atau diambil haknya, ia cenderung akan ‘memberontak’ atau mengambil kembali kebebasan yang hilang".

Teori psychological reactance atau reaktansi psikologis sering disebut juga reverse psychology. Semakin dilarang seseorang, justru akan semakin melawan. Contoh praktik teori ini di kehidupan sehari- =hari sudah sangat familiar. Misalnya, ada larangan membuang sampah di depan gang, tak bisa dipungkiri justru sampah paling banyak terkumpul di situ.

Ketidakpatuhan masyarakat selama PSBB ini dapat muncul sebagai bentuk perlawanan, karena mungkin sebagian masyarakat merasa ada kebebasan atau hak yang dapat diambil. Misalnya, ketika merasa kehilangan pendapatan karena tempatnya berjualan ditutup pemerintah agar tak terjadi kerumunan. Akan ada pertentangan batin antara patuh dan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.

Dalam kasus yang lebih ekstrim, terjadinya kerusuhan dan demonstrasi besar-besaran diberbagai negara yang ironisnya justru terjadi di tengah pandemi. Tidak hanya di Amerika, namun juga New Zealand, Perancis, Jerman dan masih banyak lagi. Mengapa bisa demikian?

Seperti yang kita ketahui, penyebab kejadian di Amerika ini adalah adanya insiden kematian George Floyd oleh oknum Polisi di Amerika. Polisi sebagai simbol hukum dan kepatuhan justru mengambil hak paling mendasar yang dimiliki manusia, yaitu hak untuk hidup. Hal ini yang membuat reaktansi psikologis masyarakat untuk tidak mau patuh lagi pada hukum dan bahkan pada presidennya. Sehingga terjadilah kerusuhan yang terjadi di mana-mana.

Kondisi ini yang dapat dikategorikan sebagai civil disobedience. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Henry David Thoreau pada 1894. Civil disobedience adalah tindakan perlawanan terhadap aturan/ hukum yang dilakukan dengan sadar, dinyatakan dan dipertontonkan di muka umum.

Tujuannya hanya satu, yaitu meminta agar negara atau pemerintah mengubah peraturan atau kebijakannya yang dianggap tidak adil, tidak bermoral atau mengancam hak seseorang. Apalagi jika oknum penegak hukum yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat, justru mengambil hak hidup seseorang. Hal ini jelas tidak konsisten.

Civil disobedience di masa pandemi bisa muncul karena ada ketidakpercayaan sebagian masyarakat pada pemerintah yang dianggap tidak konsisten dalam membuat kebijakan. Misalnya, jika tempat ibadah harus ditutup sementara waktu, seharusnya demikian pula untuk terminal, pelabuhan, atau bandara juga harus ditutup. Atau jika ibadah haji terpaksa dibatalkan, maka ijin tempat hiburan, kelab malam juga harus ditahan dulu.

Atau berita lain ketika disatu sisi sebagian masyarakat tengah tertimpa musibah PHK karena pandemi, sisi lain tersiar kabar banyak Tenaga Kerja Asing yang diterima masuk ke Indonesia, hal ini jelas mengusik nurani. Hal-hal seperti ini dikhawatirkan bisa menyulut civil disobedience.

Dalam situasi pandemi seperti ini sebagai warga negara harus patuh dengan anjuran dan imbauan pemerintah. Namun yang tidak kalah penting, pemerintah juga harus konsisten dan menjadi contoh yang baik bagi warganya. Pantang Gajah Ngidak Rapah, demikian kata pepatah Jawa; pembesar jangan melanggar aturan yang dibuat sendiri.

Pemerintah harus tegas dalam mengawal penegakkan aturan namun tak kalah pentingnya juga menjaga hak warga untuk tetap hidup, dan mendapat penghidupan. Civil disobedience ini bagaikan pandemi itu sendiri. Jika tidak ada kepatuhan, kedisiplinan, dan konsistensi baik dari masyarakat maupun pemerintahnya, maka disobidience, ketidakpatuhan, ketidaktaatan akan menular dan merusak tatanan yang sudah kita bangun.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement