REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyayangkan usulan anggota Komisi II DPR agar Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) menjadi perguruan tinggi swasta. Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Bahtiar berpendapat usulan itu mengada-ada.
Bahkan, ia mengatakan, orang mengusulkan sepertinya tidak paham tentang sejarah berdirinya sekolah penghasil pamong tersebut. "Anggota DPR yang usulkan itu, sepertinya juga tidak melihat realitas yang ada di lapangan," kata Bahtiar dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Kamis (25/6).
Pernyataan Bahtiar itu untuk menanggapi usulan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat Wahyu Sanjaya agar IPDN menjadi perguruan tinggi swasta karena anggaran IPDN cukup boros mencapai Rp 539 miliar dan tidak efektif. "Saya pikir yang mengusulkan itu seperti tidak mengerti sejarah pemerintahan Indonesia, khususnya sejarah dibentuknya IPDN," kata Bahtiar yang juga Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri.
Menurut dia, sekolah tinggi penghasil pamong itu adalah jerih payah dari Presiden pertama RI Soekarno. Pada 17 Maret 1956, sekolah penghasil pamong yang sekarang bernama IPDN diresmikan oleh Bung Karno di Malang, Jawa Timur.
Sejak saat itu, IPDN berkiprah menghasilkan para pamong pelayan rakyat. "Jadi sejak awal kemerdekaan, para pamong praja lulusan IPDN telah melaksanakan pengabdiannya kepada bangsa dan negara, dan lulusannya sudah tersebar di seluruh Indonesia," katanya.
Ia mengatakan ketika Indonesia baru saja merdeka, birokrasi belum terbangun, Bung Karno menginisiasi pembentukan IPDN, yang kemudian menjadi andalan untuk membangun birokrasi di Tanah Air pada awal kemerdekaan. "Artinya, jika melihat sejarah, para praja lulusan IPDN itulah yang bisa dikatakan ikut andil pada awal kemerdekaan dalam membangun birokrasi di Indonesia hingga saat ini," katanya.
Sejak berdiri, lanjut Bahtiar, IPDN telah memberikan kontribusinya untuk bangsa, negara, dan menjadi perekat publik. Bahkan, lulusan IPDN banyak yang kemudian ditempatkan di pelosok-pelosok negeri yang susah akses, seperti di perbatasan dan di pulau-pulau terluar.
"Mereka siap ditempatkan di mana saja. Di daerah terpencil sekali pun. Karena itu, saya menyayangkan usulan itu. Usulan tersebut melukai kehormatan para pamong praja dan purnabakti pamong praja yang tulus mengabdi kepada negara ini," tuturnya.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik yang juga Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan (IKAPTK) yang menaungi semua alumni Kursus KDC, APDN, IIP, dan IPDN mengatakan IPDN hadir karena kebutuhan negara dan pemerintahan yang memerlukan kader-kader pemerintahan dalam negeri yang memiliki kualifikasi khusus. "Jadi sama halnya ketika kepolisian membutuhkan polisi yang memiliki kualifikasi khusus, maka dibentuklah Akpol, atau saat TNI membutuhkan perwira-perwira dengan kualifikasi khusus, mereka dididik di Akmil, AAL, dan AAU," ujarnya.
Akmal menambahkan, untuk mendidik para pamong praja membutuhkan anggaran dari negara karena lulusannya bekerja untuk menjaga keutuhan negara dan menjalankan roda pemerintahan bersama-sama dengan lulusan sekolah kedinasan maupun non-kedinasan lainnya. "Jelas ini membutuhkan anggaran dari negara," tuturnya.