REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*
Mom, anaknya sudah dapat sekolah belum? Sepertinya, bukan saya saja yang dibanjiri pertanyaan itu sejak Kamis pagi.
Saya juga yakin, banyak ibu di Jakarta yang nasibnya sama seperti saya: anaknya belum dapat sekolah. Asam lambung saya sempat naik memikirkan kelanjutan pendidikan ananda.
Arsy, ibu bekerja yang anaknya satu kelas dengan putra saya, sepanjang Kamis mengaku tak bisa konsentrasi di kantor. Teman-teman kantornya menyebut dia nggak nyambung seharian. Dia juga sampai minum obat sakit kepala setelah memonitor layar laptop yang memperlihatkan laman penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Nita, ibu yang anaknya juga belum dapat SMA, bablas menyetir hingga ke Cikarang, ketika seharusnya ia keluar di gerbang tol Pondok Gede I, Jakarta Timur. Pikirannya berkelana saat seharusnya memerhatikan jalan.
Ira, bukan nama sebenarnya, sampai muncul ide buruk ketika curhat di telepon. Kalau tahu "sesadis" ini persaingan usia PPDB SMA, dia pasti akan mengubah akta kelahiran anaknya.
Warga Jawa Barat yang menumpang alamat di rumah orang tuanya di Duren Sawit, Jakarta Timur itu juga sempat terpikir untuk memanfaatkan celah disiplin administrasi masa lalu yang memungkinkan kepemilikan dua kartu keluarga. Ibu itu ingin memakai kartu keluarga Provinsi Jawa Barat yang dimilikinya untuk mendaftarkan putranya sekolah di Bekasi lewat sistem zonasi. Sesingkat itu pemikirannya.
Menurutnya, peluang si bontot dari tiga bersaudara cukup besar untuk dapat SMA "favorit" karena faktor kedekatan jarak rumah-sekolah. Aduh, gemas saya mendengarnya.
Jumat pagi, kawan-kawan riuh membicarakan anak-anak kelas dua SMA swasta yang mendaftar SMA negeri. Di grup Whatsapp lainnya, isu penerimaan siswa baru lewat "jalur belakang" mengemuka. Kabarnya, di Tangerang, kursinya dijual antara Rp 10 juta sampai Rp 17 juta, sedangkan di Bekasi, sekitar Rp 10 juta.
Anak bawang
Buat anak saya, ironis rasanya. SMA 81 yang dituju kelihatan dari jendela rumah kami. Sedekat itu jaraknya. Tapi, dia tak bisa sekolah di sana. Tak pula di 9 sekolah negeri lain yang masuk zonasi Cipinang Melayu, Makassar.
Si bujang sempat tertera namanya di SMA 91, sekitar 4,3 km dari rumah. Namun, dalam 30 menit setelah pendaftaran, namanya terdepak oleh siswa lain yang lebih tua.
Yang belum dapat SMA negeri bukan anak kami saja tentunya. Apalagi, jumlah bangku yang tersedia memang tak imbang dengan jumlah lulusan SMP. Pasti ada anak yang harus masuk sekolah swasta, pesantren, atau lainnya.
Di SMP anak saya, ada 101 anak kelahiran Juli-Desember 2004, 270 kelahiran 2005, dan 7 anak kelahiran 2006. Hingga tadi malam, anak usia 15 tahun 6 bulan pun tak dapat SMA negeri.
Mekanisme PPDB Jakarta tentu ada plus-minusnya. Saya ucapkan selamat buat anak-anak yang sudah dapat sekolah negeri.
Buat yang belum dapat, mudah-mudahan tanggal 1 Juli nanti ada kabar baik dari jalur akademik ya. Tetapi, ingat ya, kuotanya tinggal 20 persen. Di SMA 81, misalnya, kelas IPA tinggal 34 kursi dan IPS 14 kursi. Persaingan makin ketat. Siapkan mental jika tak keterima ya, Nak. Tak diterima di SMA negeri bukanlah suatu kegagalan.
Borderline
Sedih rasanya mendengar curahan hati anak-anak yang usianya lebih muda dan nilainya pasti kalah untuk bersaing di jalur akademik.
Di antara mereka ada yang berasal dari keluarga yang penghasilan ayah bundanya tak menentu gara-gara pagebluk Covid-19. Mereka sadar kemampuan finansial orang tuanya tak seberapa atau malah sewaktu-waktu merosot untuk bisa menyekolahkannya di swasta. Berada di borderline, bisakah mereka masuk dalam kategori penerima Kartu Jakarta Pintar?
Saya dan suami pun sempat membicarakan opsi agar ananda mencoba lagi PPDB SMA tahun depan. Lalu kami tergelak satire saat membahas kemungkinan tahun depan peraturannya berubah.
"Nanti tahu-tahu seleksinya pakai hasil Ujian Nasional, anak kita tak punya. Nggak lolos juga," kata saya.
Semoga tak ada yang tertinggal untuk mendapatkan hak atas pendidikan ya, Nak!
*penulis adalah wartawan Republika.co.id