REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*
Sebelum memulai tulisan ini, saya perlu menjelaskan bahwa saya tidak punya anak, kecuali keponakan mendiang keponakan saya. Keponakan saya yang tertua sudah lulus SMA sehingga saya tidak mengalami proses pendaftaran penerimaan peserta didik baru (PPDB) zonasi yang baru dimulai pada 2017. Ia masuk sekolahnya seleksi nilai. Sedangkan keponakan kedua baru akan masuk SMP tahun depan.
Beberapa hari yang lalu ketika PPDB DKI jalur zonasi sudah mulai dibuka, seorang kerabat datang ke rumah dan berbicara dengan ayah saya. Saya ada di situ juga. Ia cerita ke ayah saya bahwa keponakannya tidak lolos SMA negeri melalui jalur zonasi karena usinya baru 15 tahun 5 bulan. Ayah saya adalah ketua komite sekolah negeri di dekat tempat tinggal kami dan dia berharap ayah saya bisa membantu. Keponakan saya baru lulus dari SMA tersebut.
Tentu saja, tidak ada bantuan yang bisa diberikan karena urusan kursi SMA sudah dibagi-bagi melalui beragam jalur, yakni afirmasi, inklusi, zonasi, dan prestasi. Belakangan, Dinas Pendidikan DKI membuka kuota tambahan sebagai jalur zonasi RW yang tidak memengaruhi jalur-jalur tersebut.
Cerita itu berkelindan dengan beberapa teman bertanya soal PPDB DKI kepada saya. Keluhannya semua sama, keponakan atau anak yang ditolak masuk SMA karena usianya kurang.
Sebelum menanggapi cerita-cerita atau pertanyaan tersebut, saya biasanya meminta mereka agar tidak bias dalam merespons isu ini. Kenapa saya meminta hal tersebut? Alasannya adalah candaan bahwa anak-anak yang diterima bersekolah usianya sudah tua. Candaan yang kemudian berubah menjadi kritikan dan dibawa dalam narasi demonstrasi menolak syarat usia dalam PPDB DKI. Seolah, siswa-siswa berusia yang lebih tua daripada anak mereka tidak berhak untuk sekolah.
Ini menjadi tidak selaras dengan narasi penolakan syarat usia adalah keadilan. Adil atau tidak menjadi terbatas pada: jika anak saya diterima maka itulah yang adil.
Karena itu, saya meminta mereka untuk memahami bahwa semua anak berhak sekolah. Jika mereka ngenyek soal "umur yang tidak pantas buat masuk SMA" maka saya akan bilang pernyataan tersebut menunjukkan adanya bias kelas. Mereka menyatakan tersebut karena yang terjadi pada strata sosial mereka adalah anak memulai sekolah dasar pada usia 6-7 tahun, bahkan 5 tahun. Kemudian, mereka bisa masuk SMA pada usia 15-16 tahun, atau bahkan belum genap 14 tahun.
Padahal, realitanya tidak demikian. Silakan cek data PPDB DKI tahun ini, ada anak-anak usia 11 tahun yang masuk SD. Sayangnya, realita seperti ini tidak pernah terlihat dalam pemberitaan media massa. Realita yang dimaksud, yakni alasan keluarga 'terlambat' menyekolahkan anaknya atau bagaimana kelas sosial mereka.
'Penghakiman' soal itu hanya bisa berdasarkan dugaan dengan melihat lokasi tempat tinggal mereka. Tetapi bahkan jika siswa tersebut tinggal kelas atau tidak naik kelas, saya tetap menganggap dia harus punya kesempatan yang sama untuk masuk sekolah. Sebab, alasan tidak naik kelas bisa jadi bukan dia bodoh atau memiliki IQ kurang dari 30.
Selain realitas ini, aturan Kemendikbud juga mengamanatkan bahwa usia masuk SMA paling tua, yakni 21 tahun. Jika masuk SD syarat usia adalah yang paling muda, 6 tahun (kecuali orang tua bisa menyertakan surat psikolog anaknya layak masuk SD 5 tahun), maka syarat usia yang berlaku pada SMA adalah paling tua.
Syarat usia ini yang kemudian menjadi penyaringan kedua pada jalur zonasi. Penyaringan tahap pertama adalah berada pada zona yang sama. DKI Jakarta memang tidak menerapkan jarak pada jalur zonasi, melainkan wilayah. Ini dapat dipahami karena akan menjadi masalah jika sekolah berlokasi lebih dekat dengan permukiman kelas menengah dan jauh dari permukiman kelas bawah meski berada pada kelurahan yang sama. Aturan jarak, dan bukan wilayah, akan membuat siswa miskin yang jauh dari sekolah tidak punya kesempatan yang sama dengan siswa kelas menengah yang dekat dari sekolah. Padahal, keduanya berada pada wilayah yang sama. Kesenjangan ekonomi harus diakui masih jadi persoalan di DKI.
Di sisi lain, syarat usia berlaku karena tidak ada ujian nasional (UN) tahun ini yang menjadi standar nilai. Toh, pelaksanaan UN selama ini sudah menuai kritikan maka tak seharusnya juga nilai menjadi syarat.
Selain itu, Disdik DKI tidak menerapkan atau menghapus parameter nilai dalam PPDB jalur zonasi. Nilai rapor memang akan sulit menjadi standar karena berbeda sekolah, berbeda guru akan berbeda pula standar nilainya.
PPDB DKI tentu bukan tanpa kelemahan dan harus dievaluasi untuk penyelenggaraan tahun depan. Misalnya, syarat usia seharusnya diberlakukan setelah syarat zonasi diberlakukan dengan lebih ketat. Ada ketentuan lain terkait zonasi yang tidak hanya sekadar calon siswa berada di wilayah yang sama dengan sekolah.
Hal lain yang harus dipahami adalah, PPDB akan selalu menjadi masalah setiap tahunnya. Tahun lalu, persoalannya ada pada persentase jalur prestasi yang dianggap tidak memadai. Tahun depan, entah ada persoalan apa lagi.
Persoalan ini terjadi karena jumlah sekolah lebih sedikit dari jumlah siswa yang lulus dari jenjang sebelumnya. Dalam hal ini, jumlah siswa SMP yang lulus lebih banyak dibandingkan jumlah kursi SMA. Karena itu, yang harus didorong sekarang adalah penambahan jumlah sekolah.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, sudah menjelaskan sistem zonasi berdampak pada penambahan jumlah sekolah. Misalnya, Retno memerinci, Bekasi menambah sebanyak tujuh sekolah negeri dalam kurun waktu tiga tahun. Kemudian, Tangerang menambah sembilan sekolah baru, Jakarta tujuh sekolah menengah kejuruan (SMK) baru, Kalimantan Barat satu sekolah menengah atas (SMA), dan Depok satu SMA.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id