REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fachry Ali MA, Pengamat Sosial Keagamaan.
Ketika Munas Ulama PBNU di Banjar, Jawa Barat, tahun lalu menyinggung perlunya frasa atau konsep ‘kafir’ —dalam konteks politik dan kewarganegaraan di Indonesia— diubah menjadi ‘non-Muslim’, saya sama sekali tidak teringat pada pertanyaan apakah ‘fansurna ‘alal qaumul kaafiriin’ yang ada dalam Alqur’an itu berlaku universal.
Yang saya ingat justru suatu malam di Clayton, Melbourne —ketika Kiai Abdurrahman Wahid berselonjor kaki di atas karpet pertengahan 1991. Kala itu biskusi sudah selesai. Dan keisengan memang selalu menggoda dalam waktu-waktu spt itu.
Maka berceritalah Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang seorang kiai sepuh di sebuah pesantren antah berantah. Entah berkat apa, kiai ini meminang santriwati yang tentu saja muridnya. Pinangan tersebut disambut baik orang tua santriwati. Maka, malam pasca nikah, sebagai suami, kiai sepuh tsb harus melaksanakan ‘kewajiban’-nya —ba’da isya dan, mungkin, disambung wirid seperlunya.
Ketika ‘kewajiban’ tsb hendak dieksekusi, santriwati yang kini absah menjadi isterinya, menolak serta merta. Sebagai orang yang telah sepuh, tentu sang kiai cukup bijak dan bersabar. Walau kian larut, sang kiai dengan lembut memberikan ‘ceramah’ tentang kewajiban suami-isteri menurut pandangan agama.
Tetapi, ‘ceramah’ tersebut tidak mempan. Maka, dengan sedikit kehilangan kesabaran, kiai tersebut menggunakan ‘senjata pamungkas’. Kepaa isterinya yg masih remaja itu, sang kuai mengatakan: ‘Kalau dinda (ce’ilee) mau melaksanakan kewajiban sebagai isteri malam ini, pahalanya sama dg membunuh 100 orang kafir.’ (Malam itu, kiai ‘menyediakan’ 300 orang kafir saja).
Mendengar itu, santriwati yabg telah menjadi isterinya itu tertarik dan bergairah. Maka ia berseru: ‘Ayo kita bunuh orang kafir,’ cetusnya bersemangat. Daam hati, kiai berkata: ‘Ini yang ku tunggu.’ Maka, sang kiai berhasil melaksanakan kewajibannya.
Santriwati yg kini merasa mendapat ‘pahala’ besar dengan aksi ini, mengajak sang kiai menambah ‘pahala’ setelah kewajiban pertama usai. Kiai berkalkukasi tinggal 200 orang kafir lagi. Tak apalah. Tetapi, setelah ke-200 orang kafir tersebut terbunuh semua, hasrat berpahala santriwati ini kian meningkat. ‘Ok,’ kata kiai. Toh persediaannya masih 100 orang kafir.
Masalahnya, ketika tak ada lagi orang kafir yang tersedia untuk dibunuh, sang santriwati justru kian bergairah mencari pahala. Maka, kepada suaminya yang sudah hampir terlelap kelelahan itu, ia berkata: ‘Ayo, kita cari pahala lagi. Kita bunuh orang kafir!’
Tergeletak tak berdaya, sang kiai dari pesantren antah berantah itu menjawab sekenanya. ‘Orang kafir sudah habis. Kita tunggu mereka kumpul duluuuuu.’
Setelah itu, tak ada suara yang terdengar dari kiai ini.