REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Maspril Aries, Penggiat Kaki Bukit Literasi/ Wartawan Utama
Jika Anda berkesempatan jumpa seorang atau beberapa orang anak generasi milenial, saya ingin menitipkan pertanyaan untuk Anda sampaikan kepada mereka. Pertanyaannya adalah: “Hujan Bulan Juni itu apakah nama judul lagu, atau judul puisi, atau judul novel, atau judul film.”
Maka mereka akan menjawab “Hujan Bulan Juni” itu judul film.
Jawaban itu benar, walau Anda bantah itu judul puisi, mereka akan ngotot itu adalah judul film. “Hujan Bulan Juni” itu benar judul film sekaligus juga judul puisi. Generasi milenial lebih mengenal “Hujan Bulan Juni” sebagai judul film yang diproduksi tahun 2017.
Film “Hujan Bulan Juni” diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono (SDD). Film ini disutradari Reni Nurcahyo Hestu Saputra dengan para pemeran Velove Vexia, Adipati Dolken, Baim Wong, Surya Saputra, dan Koutaro Kakimoto. Cerita dan tokoh dalam film tersebut sama dengan yang ada dalam novel, ada tokoh Pingkan dan tokoh Sarwono.
Mengapa Anda mengatakan “Hujan Bulan Juni” adalah puisi? Mereka yang lahir jauh di atas generasi milenial memang lebih mengenal “Hujan Bulan Juni” adalah sebuah puisi yang ditulis sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono yang wafat dalam usia 80 tahun pada Ahad, 19 Juli 2020 pukul 09.17 WIB di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. Sastrawan yang juga guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) telah pergi selama-lamanya ke haribaan Illahi pada bulan Juli.
Sapardi Djoko Damono yang lahir di Solo 20 Maret 1940 menulis puisi “Hujan Bulan Juni” pada 1989.
“tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu”
Puisi “Hujan Bulan Juni” sebelum bertransformasi menjadi novel lalu ditampilkan di layar lebar dengan medium film, sudah lebih dulu ditampilkan dengan iringan musik dalam bentuk musikalisasi puisi pada tahun 1980-an. Sejak itu puisi SDD semakin dikenal luas di Indonesia. Musikalisasi puisi karya Sapardi dimulai pada tahun 1987 ketika beberapa mahasiswanya membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair Indonesia sebagai upaya memperkenalkan apresiasi sastra kepada siswa SLTA.
Waktu itu tercipta musikalisasi “Aku Ingin” oleh Ags. Arya Dipayana dan “Hujan Bulan Juni” oleh M. Umar Muslim. Kemudian pada tahun 1990 lahirlah album “Hujan Bulan Juni” yang merupakan musikalisasi puisi dari sajak-sajak Sapardi. Menyusul ada 1996 lahir album “Hujan Dalam Komposisi” yang seluruhnya melibatkan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia tempat Sapardi Djoko Damono berbagi ilmu sebagai dosen.
Untuk puisi “Aku Ingin” kemudian diaransemen ulang oleh musisi Dwiki Dharmawan dengan penyanyi Ratna Octaviani yang menjadi bagian dari soundtrack film “Cinta dalam Sepotong Roti” karya sutradara Garin Nugroho tahun 1991.
“Hujan Bulan Juni” selain karya sastra yang fenomenal juga di lingkungan perguruan tinggi menjadi bahan kajian pada mahasiswa dan ilmuwan. “Hujan Bulan Juni” terlahir sebagai puisi, kemudian bertransformasi menjadi karya prosa atau novel dengan judul yang sama. Novel “Hujan Bulan Juni” adalah novel pertama dari sebuah trilogi yang ditulis SDD. Novel kedua berjudul “Pingkan Melipat Jarak” dan novel ketiga berjudul “Yang Fana Adalah Waktu.”
Tak banyak sastrawan Indonesia yang karyanya bertransformasi dari puisi menjadi novel, film atau lagu seperti dilakukan SDD. Transformasi karya sastra dari novel menjadi sebuah film di Indonesia sudah banyak. Namun dari puisi menjadi karya sastra lain seperti novel dan dilakukan oleh penulis yang sama seperti puisi “Hujan Bulan Juni” menjadi novel dengan judul yang sama oleh Sapardi Djoko Damono adalah jarang terjadi.
Proses transformasi sastra yang dilakukan Sapardi Djoko Damono dari puisi ke novel, walau terjadi perubahan karena struktur penyusun dari dua karya yang berbeda. Namun, secara keseluruhan tema, amanat, dan inti dari kedua karya sastra adalah sama. Ketika terjadi transformasi dari novel ke film terjadi perubahan yang menyolok.
Novel dan film sama-sama memiliki elemen utama yang sama, yaitu cerita. Namun dalam proses pengolahan cerita dari novel menjadi film dengan judul yang sama “Hujan Bulan Juni” akan berbeda, karena medium utama penyampaiannya yang berbeda. Novel menggunakan bahasa kata-kata sedang film menggunakan bahasa gambar. Kemudian faktor penceritaannya juga berbeda, jika novel relatif tak berbatas sedang film dibatasi oleh waktu atau durasi. Dalam film “Hujan Bulan Juni” skenario tidak ditulis langsung oleh SDD.
Fenomena adaptasi novel menjadi film merupakan perubahan substansi dari wacana yang memunculkan istilah “ekranisasi.” Menurut kajian ilmiah, transformasi dari karya sastra ke bentuk film disebut ekranisasi. Ekranisasi dari bahasa Prancis, écran yang berarti “layar.” Ekranisasi adalah pelayar putihan atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film.
Novel “Hujan Bulan Juni” menjadi film “Hujan Bulan Juni” adalah sebuah ekranisasi sekaligus alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain.
Sapardi Djoko Damono dalam buku “Pegangan Penelitian Sastra Bandingan” menuliskan, “Karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan yakni dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi juga dialihwahanakan, yakni diubah menjadi jenis kesenian lain. Kegiatan di bidang ini akan menyadarkan kita bahwa sastra dapat bergerak ke sana kemari, berubah-ubah unsur-unsurnya agar bisa sesuai dengan wahananya yang baru.
Sebaliknya, alih wahana juga bisa terjadi dari film menjadi novel atau puisi yang lahir dari lukisan atau lagu. Alih wahana novel ke film misalnya, tokoh, latar, alur, dialog, dan lain-lain harus diubah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keperluan jenis kesenian lain.
Sapardi Djoko Damono adalah sedikit dari sastrawan Indonesia karya-karyanya bertransformasi dari puisi menjadi lagu, menjadi prosa atau novel dan kemudian dituangkan ke dalam film layar lebar. Itu kelebihan dari seorang SDD yang bisa menjadi inspirasi generasi sastrawan milenial.
Selain seorang sastrawan, SDD juga seorang ilmuwan, akademisi yang pernah menjabat Dekan Fakultas Sastra pada 1999-2004 dan menulis beberapa buku ilmiah diantaranya Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978); Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999); Sihir Rendra: Permainan Makna (1999).
Di Indonesia sedikitnya ada tiga sastrawan besar yang juga akademisi (guru besar), selain Sapardi Djoko Damono ada Kuntowidjojo (almarhum) sastrawan yang juga akademisi pada Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada (UGM) dan Budi Darma sastrawan yang juga staf pengajar pada FPBS Universitas Negeri Surabaya (dulu IKIP Surabaya).
Jika membaca karya Sapardi Djoko Damono berupa puisi, prosa, esai dan drama akan menemukan kesederhanaan namun penuh dengan makna kehidupan. Tak heran jika karya-karyanya menjadi sangat populer, baik di kalangan dunia sastra, pendidikan dan masyarakat umum.
Simak dan baca puisi-puisi yang ditulis Sapardi Djoko Damono, adalah puisi yang sangat unik, puisinya gramatikal. Dalam setiap puisinya, SDD kerap menggunakan diksi yang sederhana yang mengandung majas di dalamnya. Bahasa kias dalam karya-karya SDD memberi efek estetis dan mendukung terciptanya suasana serta nada tertentu dalam sebuah karya.
Sapardi Djoko Damono adalah salah satu pengarang yang menyumbang pembaruan dalam perkembangan sastra Indonesia, khususnya puisi. Karya-karyanya sangat kaya dan menyimpan imaji visual. Dalam teori ilmiah imaji dapat diartikan sebagai susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris di mana pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, merasakan, seperti apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan penyair dalam puisinya secara imajinatif melalui pengalaman dan rasa kita.
Juga ditemukan ada pemilihan dan pemakaian leksikon bahasa asing. Dalam novel “Hujan Bulan Juni” ditemukan leksikon bahasa asing pada dialog, “Twin beds atau double bed, pak?” Tanya pegawai hotel.
Pemilihan pemakaian leksikon bahasa asing seperti bahasa Inggris dan Jepang menandakan bahwa Sapardi Djoko Damono adalah penulis yang menguasai bahasa asing dan kerap pergi ke luar negeri sehingga memperkaya nuansa pada setiap karyanya.
Maka benar adanya jika ada yang mengatakan, sastra merupakan suatu cipta rasa seseorang yang berkembang melalui pola pikir seseorang yang sedang berimajinasi membentuk dan menjadi indah dengan bahasa yang indah pula. Sapardi Djoko Damono telah melahirkan banyak keindahan dalam diksi bahasa Indonesia, sehingga generasi-generasi milenial bisa menikmatinya keindahan itu.
Selamat jalan sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono.
YANG FANA ADALAH WAKTU
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.
-- 1978.