REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengatakan banyak siswa mengalami tekanan secara psikologi hingga putus sekolah. Berbagai masalah yang muncul selama mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring yang dilakukan selama pandemi Covid-19.
"Banyak anak tidak bisa mengakses PJJ secara daring, sehingga banyak dari mereka yang tidak naik kelas sampai putus sekolah," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti dalam keterangan pers yang diterima Antara di Jakarta, Kamis.
Retno mengatakan, KPAI telah menerima sejumlah pengaduan yang menunjukkan bahwa guru dan sekolah tetap mengejar ketercapaian kurikulum meski di tengah kesulitan yang dialami masyarakat akibat dampak pandemi. Padahal, Surat Edaran (SE) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 4 Tahun 2020 menyebutkan bahwa selama PJJ guru tidak boleh mengejar ketercapaian kurikulum karena keterbatasan waktu, sarana, media pembelajaran, dan lingkungan yang dapat menjadi kendala selama proses pembelajaran.
Faktanya, menurut Retno, banyak guru tetap mengejar ketuntasan kurikulum dengan cara memberikan tugas terus-menerus pada siswa mereka selama PJJ. Retno menduga akibat keegoisan sekolah untuk menuntaskan pencapaian kurikulum, banyak siswa merasa terbebani hingga mengalami tekanan secara psikologi, tidak naik kelas, bahkan sampai putus sekolah.
Kebijakan untuk mempertimbangkan berbagai kendala yang dihadapi siswa tersebut, menurut Retno, perlu benar-benar diperhatikan oleh sekolah. Apalagi, PJJ masih akan dilaksanakan selama semester ini, sehingga kasus siswa tidak naik kelas karena kesulitan belajar secara daring harus dapat diminimalkan.
Sementara itu, selain kasus anak putus sekolah, KPAI juga menerima laporan salah satu SMKN di Jawa Timur tidak menaikkan siswa karena siswa tersebut tidak menyerahkan tugas-tugas selama belajar daring. Orang tua siswa bersikeras mengatakan bahwa anaknya sudah menyerahkan tugas meskipun waktu penyerahannya sudah mendekati tenggat waktu.
Menurut Retno, orang tua tersebut mengatakan selama pandemi, tidak ada interaksi antara guru dengan siswa. Para siswa hanya diberi penugasan.
Orang tua siswa tersebut kemudian dipanggil oleh sekolah dan sekolah tempat anaknya belajar itu mengatakan anaknya akan diberikan kelonggaran jika bersedia dimasukkan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Anak tersebut memiliki IQ 89 dan kesulitan dalam menulis, padahal mayoritas penugasan selama PJJ adalah menulis.
Namun, orang tuanya mengaku bahwa anaknya memiliki kemampuan verbal dan psikomotor yang baik. Anak tersebut kemudian menjadi tertekan secara psikologis karena dirinya dianggap sebagai anak berkebutuhan khusus. Akhirnya, orang tua siswa tersebut lebih memilih anaknya mengundurkan diri dari sekolah tersebut.
"Jika kehadiran yang dipakai sebagai ukuran dalam PJJ secara daring sebagai nilai sikap, lalu bagaimana dengan yang tidak punya alat dan kuota internet sehingga tidak bisa mengikuti PJJ secara daring," kata Retno.
Retno menduga banyak anak yang tidak naik kelas dan akhirnya putus sekolah. Ia melihat, sebagian anak di Nusa Tenggara Barat yang tidak bisa PJJ daring juga memilih untuk menjadi pekerja anak untuk membantu ekonomi keluarganya.