REPUBLIKA.CO.ID, RAMAT GAN -- Seorang dokter perempuan di Sheba Medical Center, Kota Ramat Gan, Israel, kembali dinyatakan positif Covid-19 sekitar tiga bulan setelah pulih. Dia terpapar virus pada April, namun hasil tesnya sudah negatif pada Mei dan Juni 2020.
Dokter tersebut kembali dinyatakan positif Covid-19 pada Juli setelah melakukan kontak dengan individu yang terinfeksi. Sudah ada sejumlah laporan kasus infeksi berulang Covid-19 secara global, namun kabar ini tetap menggemparkan komunitas medis.
Para pakar masih berspekulasi dalam ketidakpastian mengenai hal tersebut, terutama bertanya-tanya apakah secara jangka panjang pasien bisa terinfeksi kembali. Berbagai masalah dengan pengujian dan hasil tes yang tidak akurat turut berpengaruh.
Studi mengenai antibodi dan kekebalan tubuh pada pasien Covid-19 menjadi lebih sulit dipahami. Penelitian menunjukkan kasus negatif palsu memiliki tingkatan cukup tinggi, yakni sekitar 20 persen sampai 38 persen.
Bulan lalu, rangkaian studi mengungkap bahwa pasien dengan cepat kehilangan antibodi yang dihasilkan tubuh selama pertempuran dengan virus corona. Studi yang terdiri dari dua penelitian itu juga mendapati pemulihan pasien butuh beberapa pekan atau bulan.
Dalam laporan lain yang diunggah ke sumber akses terbuka medRxiv, periset dari Wuhan, China, menunjukkan bahwa antibodi tidak terdeteksi pada 10 persen dari 1.500 pasien Covid-19. Analisis dilakukan beberapa pekan setelah gejala awal infeksi virus.
Dari temuan tersebut, para periset Wuhan itu menyimpulkan kondisi pasien yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 tersebut. Setelah infeksi, pasien cenderung tidak memproduksi antibodi pelindung yang bisa bersifat jangka panjang melawan virus.
Makalah lain yang terbit di Nature Medicine membandingkan tingkat antibodi antara 37 pasien positif tanpa gejala dan 37 pasien positif dengan gejala berat. Mereka semua berbasis di distrik Wanzhou, Cnina, dengan periode riset selama tiga bulan.
Antibodi pada 60 persen pasien tanpa gejala dapat dideteksi, sementara 87 persen pasien dengan gejala berat menunjukkan tingkat antibodi yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa pasien dengan kondisi ringan berisiko kurang terlindungi di masa depan.
Berbagai riset itu menunjukkan bahwa sifat antibodi virus corona jenis baru ini tidak konsisten dan masuk dalam wilayah yang belum terpetakan. Berbeda dengan sindrom pernapasan akut parah (SARS) dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) yang antibodinya diketahui bertahan selama satu tahun atau lebih usai terinfeksi.
Awal bulan ini, penasihat kesehatan Gedung Putih dr Anthony Fauci menyatakan belum ada informasi akurat mengenai berapa lama pertahanan antibodi corona dalam tubuh. Dia mengatakan penanganan corona tidak bertahan seumur hidup seperti vaksin campak.
Fauci dan tim mengasumsikan akan ada tingkat perlindungan, tetapi cenderung terbatas. Meski demikian, Fauci mengaku skeptis terhadap adanya sejumlah laporan infeksi virus yang berulang, dengan alasan jejak Covid-19 kemungkinan tetap ada dalam tubuh.
Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular itu berbincang dengan Direktur National Institutes of Health (NIH), dr Francis Collins. Fauci yakin tidak ada kasus yang terdokumentasi di mana pasien yang pulih kembali sakit dengan kondisi replikasi virus.
"Saya tidak akan terkejut jika ada kasus langka dari seseorang yang mengalami remisi dan kambuh, tapi saya dapat mengatakan dengan cukup yakin bahwa itu bukan fenomena umum," ungkap Fauci, dikutip dari laman Fox News.