Kamis 30 Jul 2020 02:15 WIB

Polusi Lebih Berisiko pada Kesehatan daripada Virus

Studi menemukan polusi udara terus sebabkan miliaran orang sakit dan berusia pendek

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Christiyaningsih
Petugas beraktivitas dengan latar belakang gedung-gedung bertingkat yang diselimuti polusi di Jakarta, Selasa (28/7). Polusi udara kembali menyelimuti langit Jakarta, sejak masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memasuki masa transisi. Berdasarkan data AirVisual, kualitas udara Jakarta pada Selasa (28/7) mencapai angka 156 US AQI, yang tergolong tidak sehat.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas beraktivitas dengan latar belakang gedung-gedung bertingkat yang diselimuti polusi di Jakarta, Selasa (28/7). Polusi udara kembali menyelimuti langit Jakarta, sejak masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memasuki masa transisi. Berdasarkan data AirVisual, kualitas udara Jakarta pada Selasa (28/7) mencapai angka 156 US AQI, yang tergolong tidak sehat.

REPUBLIKA.CO.ID, CHICAGO -- Para ilmuwan seantero dunia tengah berlomba-lomba menemukan vaksin untuk mengendalikan pandemi Covid-19. Akan tetapi, para peneliti dari Universitas Chicago mengatakan bukan itu faktor risiko terbesar bagi kesehatan umat manusia.

Laporan terbaru para ilmuwan yang tergabung dalam Indeks Hidup Kualitas Udara (AQLI) menunjukkan risiko yang lebih dahsyat dari buruknya kualitas udara. Berdasarkan data yang dirilis Selasa (28/7), polusi udara menjadi risiko terbesar untuk kesehatan.

Baca Juga

Pencemaran udara mengurangi angka harapan hidup semua orang, baik itu lelaki dan perempuan dewasa, juga anak-anak selama dua tahun terakhir. Hingga saat ini, polusi terus menyebabkan miliaran orang sakit dan berusia pendek.

Indeks mengonversi polusi udara partikulat (sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil) menjadi dampak terhadap kesehatan manusia. Ditemukan bahwa China pernah menjadi negara dengan udara yang paling tercemar di dunia, meski sekarang cukup membaik.

Hampir seperempat populasi global tinggal di empat negara Asia yang punya tingkatan polusi tertinggi yakni Bangladesh, India, Nepal, dan Pakistan. Polusi di India dan Bangladesh amat parah hingga mengurangi rata-rata rentang hidup warganya.

Polusi partikulat merupakan masalah besar di seluruh Asia Tenggara, di mana risiko kebakaran hutan berpadu dengan padatnya lalu lintas dan uap dari pembangkit listrik. Sekitar 89 persen dari 650 juta penduduk di kawasan itu tinggal di daerah yang terpapar polusi udara.

Beberapa negara di Eropa serta Amerika Serikat dan Jepang telah berhasil meningkatkan kualitas udara. Meski begitu, secara umum AQLI masih memprediksi polusi mengurangi rata-rata dua tahun dari harapan hidup warga bumi.

AQLI memproyeksikan populasi yang terpapar tingkat polusi 44 persen lebih tinggi dari 20 tahun lalu, rata-rata mengalami pengurangan harapan hidup sebanyak lima tahun. Pendiri AQLI, Michael Greenstone, menekankan pentingnya masalah tersebut.

"Meskipun ancaman corona sangat serius dan patut mendapat perhatian, menyikapi polusi udara dengan keseriusan yang sama akan memungkinkan miliaran orang hidup lebih lama dan lebih sehat," kata Greenstone dikutip Science Alert dari AFP.

Greenstone yang berasal dari Institut Kebijakan Energi di Universitas Chicago mengutip beberapa penelitian yang telah menunjukkan kaitan polusi udara dengan corona. Pencemaran udara juga merupakan faktor risiko utama dari Covid-19.

Dia mendesak pemerintah di seluruh dunia untuk memprioritaskan perbaikan kualitas udara setelah pandemi. Dia mengatakan tidak ada cara yang lebih efektif guna mengurangi polusi udara selain solusi kebijakan publik yang kuat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement