REPUBLIKA.CO.ID, ULUBELU, TANGGAMUS -- Kecamatan Ulubelu, Tanggamus dikenal sebagai salah satu lumbung kopi robusta di Lampung. Kawasan dengan total perkebunan kopi seluas 34 ribu hektare ini rata-rata mampu menghasilkan 800 kilogram hingga satu ton kopi per hektarenya. Namun, angka tersebut dinilai masih jauh dari harapan.
Camat Ulubelu Suwarno menilai, kopi di wilayahnya memiki potensi lebih besar dari itu. Bahkan ia optimistis hasil panennya sanggup mendekati rata-rata produksi kopi per hektare negara penghasil kopi terbesar kedua di dunia, yakni Vietnam.
"Vietnam itu dalam satu hektare bisa mencapai hasil lebih dari lima ton per hektare," ungkap Suwarno kepada Republika.co.id belum lama ini. "Ini lagi kita upayakan bagaimana caranya nanti meningkat bisa maksimal. Kalau memungkinkan bisa empat ton. Harapan kita."
Tidak hanya kuantitas, kopi Ulubelu juga menurutnya sangat berpotensi menjadi kopi dengan mutu terbaik. Apalagi kesadaran petani setempat soal pentingnya proses pembibitan hingga penanganan pascapanen semakin baik. Meski kalau dipresentase, saat ini belum sampai 10 persen.
"Sebenarnya tantangan di sini adalah kemauan. Ini memang perlu lagi-lagi edukasi ke masyarakat bagaimana kita yakinkan dengan kualitas yang baik nanti otomatis akan membuat harga kopi ini mudah-mudahan akan membuat harga tawar yang baik juga," ungkap pria yang juga petani kopi ini.
Suwarno mengakui salah satu kendala terbesar pengembangan kopi robusta Ulubelu memang ada di masyarakat. Tidak bisa ditampik masih ada sebagian besar petani yang belum bisa menerima ilmu baru dan cara baru. Salah satunya terkait hasil pengolahan pascapanen.
"Sekarang ini dalam pengolahan pascapanen masyarakat masih cenderung mengolah biji kopi secara tradisional. Kalau untuk kualitas, alhamdulillah mereka sudah cenderung untuk ceri biji merah yang tua, tapi untuk sarana penjemuran mereka masih tradisional, belum menggunakan alat, masih di atas tanah. Ini yang membuat kopi yang ada di daerah Ulubelu ini belum bisa memberikan kualitas yang baik," ujar dia.
Seharusnya, kata Suwarno, untuk pengolahan biji kopi dalam panen, penjemurannya paling tidak minimal beralas. Sehingga kopi yang dipanen tidak bersentuhan langsung dengan tanah. Selain faktor rasa, cara itu berisiko membuat kopi membusuk ketika turun hujan.
"Itu yang akan merusak kualitas biji kopi itu. Ketika menggunakan alas, kemudian ketika hujan, ditutup. Dan ini memang sudah terbukti kualitasnya akan jauh lebih baik," ujarnya.
Karena itu Suwarno berharap, masyarakat melalui kelompok tani dan komunitas bisa makin berperan di sini. Di mana saat ini jumlah kelompok yang ada di Kecamatan Ulubelu ini sekitar 50-an dan mereka mulai terlihat fokus pada perbaikan di bidang penanaman, perawatan panen, dan penanganan pascapanen.
"Harapan kami dalam dua tiga tahun ke depan, walaupun bertahap, belum bisa signifikan, diupayakan secara maksimal. Saya pribadi sudah komunikasi dengan kelompok-kelompok petani yang isinya anak-anak muda yang sangat antusias untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan cara memanen yang baik," kata dia.
Secara umum Lampung merupakan salah satu provinsi penghasil kopi robusta utama di Indonesia. Komoditas ini menjadi andalan dari Lampung untuk diekspor. Rata-rata Lampung mampu berkontribusi 24,19 persen dari produktivitas kopi nasional.
Produksi petani kopi Lampung, khususnya kopi robusta, mencapai angka 90.000-100.000 ton per tahun. Produktivitas petani kopi umumnya di Lampung berkisar satu hingga empat ton per hektare.
Pemprov Lampung menargetkan ke depan produksi kopi petani di daerah ini naik dari rata-rata 0,78 ton per hektare menjadi rata-rata empat ton per hektare.