REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak sulit untuk menemukan warung atau kedai kopi di wilayah Provinsi Aceh, khususnya di Kota Banda Aceh. Dari yang mulai tradisional hingga bergaya modern dan kekinian, bisa dengan mudah anda temukan, bahkan tidak jarang ada lebih dari dua warung kopi yang berdiri saling berdekatan dalam satu ruas jalan. Hal ini tidak lepas dari tradisi masyarakat di wilayah yang berjuluk "Serambi Makkah" dalam menikmati kopi.
Tidak ada waktu ideal untuk minum kopi bagi masyarakat di Aceh, mungkin itu gambaran yang bisa diberikan jika melihat kebiasaan masyarakat disana dalam menikmati kopi. Di Aceh, kopi ideal dinikmati kapanpun juga baik itu pagi, siang, sore dan malam. Bahkan, usai sholat subuh pun, warung-warung kopi di Aceh sudah sibuk melayani masyarakat yang datang. Seperti yang tim Ekspedisi Republikopi temui kala berkunjung ke salah satu warung kopi legendaris ke Kota Banda Aceh.
Subuh itu, warung kopi yang terletak di Jalan Tengku Iskandar Muda, Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, telah ramai dengan pengunjung. Mayoritas, pengunjung datang dengan masih memakai baju muslim, kopiah dan kain sarung. Mereka bukan hanya datang usai menunaikan sholat subuh di masjid yang ada di seberang warung kopi, namun ada juga pengunjung yang datang dari masjid-masjid lainnya.
"Ngopi subuh memang sudah menjad suatu karakter khas masyarakat di Aceh," ucap Tengku Zulfikar SBY, salah seorang pengunjung yang ditemui di Solong Ulee Kareng Coffee.
"Setelah menunaikan sholat subuh berjamaah, biasanya kami memang ngopi bareng. Banyak komunitas-komunitas di Aceh yang tidak lepas dan dimulai dari kopi subuh," ujarnya melanjutkan.
Zulfikar melanjutkan, tidak pernah ada janjian atau rencana untuk minum kopi bareng usai sholat subuh. Karena kebiasaan turun-temurun, masyarakat biasanya langsung pergi ke warung kopi usai menunaikan sholat subuh. Merekapun berkumpul dan ngobrol dengan sesama pengunjung, meski bukan dari satu daerah yang sama.
"Jadi hampir seluruh lapisan masyarakat, mulai dari tokoh politik, tokoh masyarakat dan lainnya, bisa bertemu di kopi subuh. Biasanya usai sholat subuh, itu kompak datang ke warung, mendiskusikan apapun mulai dari kondisi politik, ekonomi, sosial hingga soal pekerjaan disini. Nah biasanya baru bubar itu sekitar pukul 7 pagi, pulang ke rumah masing-masing untuk kemudian bekerja," jelasnya.
Sementara Kamaruddin, pengunjung lain yang ditemui Ekspedisi Republikopi, menceritakan hadirnya komunitas kopi subuh tidak lepas dari budaya dan tradisi masyarakat Aceh yang gemar minum kopi. Hal ini yang mendorong banyaknya muncul warung-warung kopi di Aceh. Bagi masyarakat, warung tersebut bukan hanya menjadi tempat untuk minum kopi namun juga tempat berbagi informasi, diskusi hingga mencari pekerjaan.
"Tak jarang juga kebijakan-kebijakan publik diputuskan di warung kopi. Kadang-kadeng teman-teman dari Parpol yang ada di DPRA atau DPRD Provinsi Aceh itu, berdebat panas saat rapat disana, tapi begitu sampai warung kopi semua selesai. Kesepakatan di ambil di warung kopi, dan secara formalitas saja disahkan di gedung DPRA ataU DPRD," jelasnya.
Ada tradisi unik dalam komunitas warung kopi. Biasanya, siapa yang datang paling pertama ke warung dan memilih meja, maka orang itu harus ikhlas membayar kopi untuk rekan-rekannya yang hadir. Hal itu tidak lepas dari budaya masyarakat Aceh yang menghormati tamu. "Jadi masyarakat Aceh bukan cuma menghormati tamu pendatang dari daerah luar, namun juga dalam sehari-hari, siapa yang datang pertama dia yang bayar kopi," ucapnya sambil tertawa.