REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Risdiyono*
Berkaca dari the Global Innovation Index (GII) 2020 yang baru saja dirilis oleh Cornell University, INSEAD, dan World Intellectual Property Organization (WIPO), Index Inovasi Global Indonesia berada di urutan bawah. Indonesia menempati rangking 85 dari 131 negara di dunia, terpaut cukup jauh dari negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia (33), Vietnam (42), Thailand (44), maupun Filipina (50).
Relevan dengan pandemi Covid-19, GII 2020 juga menemukan adanya pengaruh cukup besar dari pandemi terhadap arah kebijakan inovasi berbagai negara. Inovasi salah satunya dilahirkan melalui riset.
Riset di bidang kesehatan, pendidikan daring, big data, e-commerce, dan robotika tentunya menjadi prioritas utama karena berkaitan erat dengan penanganan pandemi. Di Indonesia, Kementerian Riset dan Teknologi/ Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) mengawalnya secara serius melalui pembentukan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19.
Para peneliti juga diberi pilihan untuk mengubah topik penelitian atau menunda pelaksanaannya. Opsi ini tentu saja menuntut peneliti semakin kreatif memunculkan ide-ide baru yang layak untuk dijadikan sebagai topik penelitian.
Untuk menghasilkan ide inovatif, tidak ada salahnya jika peneliti membebaskan dirinya dari kungkungan psikologis yang biasanya dipengaruhi latar belakang dan pengalaman sebelumnya. Sebagai gambaran, seseorang berlatar belakang teknik mesin jika ditanya bagaimana cara memotong material, maka ia cenderung menggunakan peralatan potong mekanis seperti pisau, gergaji, gerinda, dan lain sebagainya.
Kecil kemungkinan ia mengusulkan cara pemotongan material menggunakan cairan kimia, arus listrik, atau proses biologi. Fenomena ini disebut dengan istilah psychological inertia. Pendekatan MATChEM dapat menjadi alternatif solusi (solution space) memunculkan inovasi sekaligus terlepas dari inertia tersebut.
MATChEM merupakan singkatan dari Mechanical, Acoustic, Thermal, Chemical, Electrical and Magnetic, yang merupakan enam domain utama untuk mencari solusi dari permasalahan yang kita hadapi. Banyak studi melaporkan dengan mengadopsi pendekatan MATChEM seseorang akan mampu memunculkan ide-ide penyelesaian masalah yang lebih komprehensif.
Dalam penanganan virus Covid-19, misalnya, selain pendekatan mekanis (memakai masker), kimiawi (mencuci tangan dengan menggunakan sabun) dan termal (sterilisasi pakaian dengan panas), mungkin perlu dipikirkan juga pendekatan akustik (A), elektrik (E), maupun magnetik (M).
Pendekatan akustik bisa dimulai dengan pertanyaan sederhana: "Mungkinkah kita menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tertentu untuk menghancurkan virus?". Bukankah suara penyanyi mampu memecahkan gelas pada saat frekuensi suaranya memicu terjadinya resonansi? Kalaupun tidak mampu menghancurkannya, mungkinkah ada frekuensi tertentu yang mempersulit virus menempel pada inang dan menghambat perkembangbiakannya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja perlu dicari jawabannya melalui eksperimen ilmiah. Seandainya ditemukan frekuensi tertentu yang tidak berbahaya bagi manusia, tetapi mampu menghancurkan DNA/RNA virus, maka hal ini seolah mewujudkan imaginasi film fiksi mengalahkan alien dengan senjata gelombang suara.
Jika penelitian berhasil, maka virus Covid-19 bukan lagi menjadi ancaman. Banyaknya varian virus akibat mutasi mungkin bisa diatasi dengan variasi frekuensi maupun amplitudo suara yang digunakan.
Bisa juga kita mengajukan pertanyaan sebaliknya: "Mungkinkah kita menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tertentu untuk meningkatkan imunitas tubuh?". Bukankah sudah banyak penelitian yang menyebutkan bahwa lantunan ayat suci Alquran dengan irama tertentu maupun musik klasik mampu merangsang pertumbuhan sel otak? Jika penelitian tersebut benar, maka ada peluang untuk mengadopsinya pada kasus imunitas tubuh dalam menghadapi Covid-19.
Sedangkan, pendekatan elektrik dan magnetik dapat memberikan ide bagi kita meneliti teknologi mikro-elektrik maupun elektromagnetik untuk meningkatkan efektivitas penggunaan masker, face shield, maupun proses disinfektasi. Dengan bantuan mikroelektrik yang dibangkitkan dari sebuah power bank misalnya, apakah mungkin melumpuhkan virus Covid-19 yang menempel di masker maupun face shield.
Pengaruh gelombang elektromagnetik pada virus ini juga dapat diteliti sehingga dapat digunakan untuk menghancurkan atau mengendalikannya. Tampaknya cukup menarik jika ada produk pelindung wajah berbasis elektromagnetik yang memiliki fungsi lebih efektif dibandingkan face shield dari plastik maupun masker dari kain.
Saat ini pendekatan MATChEM telah berkembang menjadi MATChEMIB (ada tambahan Intermolecular dan Biological) untuk mewadahi beberapa domain baru yang juga signifikan pengaruhnya dalam memperluas solution space. Pendekatan biologi telah membuat negara seperti Finlandia mencoba menggunakan anjing terlatih untuk mendeteksi penderita Covid-19 di bandara. Metode ini merupakan metode baru yang sedang diujicobakan dan diklaim cukup efektif dengan akurasi di atas 95 persen.
Banyak ide lain yang bisa dimunculkan dengan menggunakan pendekatan MATChEMIB. Agar mendapatkan hasil yang optimal, tentu saja diperlukan penggabungan pendekatan berbagai displin ilmu melalui diskusi, workshop, maupun riset bersama. Kolaborasi adalah salah satu kata yang penting untuk selalu kita gaungkan demi terwujudnya berbagai inovasi dalam menghadapi pandemi ini.
*Ketua Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia, Ketua Asosiasi Praktisi TRIZ Indonesia (INTRIZ)