REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membekukan kegiatan usaha perusahaan pembiayaan PT Intensif Multi Finance. Perusahaan ini dinilai melanggar aturan penyelenggaraan perusahaan pembiayaan.
Deputi Komisioner Pengawas IKNB II OJK Moch Ihsanuddin menyampaikan, OJK telah membekukan kegiatan usaha Intensif Multi Finance sesuai Surat Nomor S-459/NB.2/2020 pada 4 November 2020. Perusahaan tersebut tidak memenuhi ketentuan pasal 110 ayat 2 pada POJK 35/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.
Yaitu, perusahaan pembiayaan wajib melakukan pemenuhan atas ketentuan Pasal 7 jo Pasal 2, Pasal 23 ayat (5), Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), dan Pasal 36 paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan.
"Dengan dibekukannya kegiatan usaha perusahaan pembiayaan tersebut di atas maka perusahaan pembiayaan tersebut dilarang melakukan kegiatan usaha," ungkap Ihsanuddin dalam keterangan resmi, Selasa (24/11).
Merujuk pada POJK 35/2018, pasal 7 jo pasal 2 yang mengatur perusahaan pembiayaan atau multifinance secara jelas mencantumkan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam anggaran dasarnya. Adapun pasal 2 mengatur bahwa kegiatan usaha perusahaan pembiayaan meliputi pembiayaan investasi, modal kerja, multiguna, dan kegiatan usaha lain berdasarkan persetujuan OJK.
Sedangkan, pada pasal 23 memaparkan, multifinance mesti memenuhi ketentuan batas maksimum pemberian pembiayaan (BMPP) kepada pihak terkait paling tinggi 50 persen dari ekuitas. Selanjutnya pasal 5 salah satunya menyatakan bahwa multifinance yang akan melakukan pembiayaan mesti memiliki ekuitas paling rendah sebesar Rp 200 miliar dan sedang tidak dikenakan sanksi administratif oleh OJK.
Kemudian pasal 26 ayat 1 dijelaskan, multifinance wajib melakukan mitigasi risiko. Pada ayat 2 menyertakan, pengalihan risiko pembiayaan dapat melakukan mekanisme asuransi kredit atau penjaminan kredit, pengalihan risiko atas agunan melalui asuransi, dan/atau melakukan pembebanan jaminan fidusia, hak tanggungan atau hipotik atas agunan.
Terkait pasal 34 ayat 1 membahas lebih lanjut soal perjanjian pembiayaan yang diatur secara tertulis. Sedangkan pasal 36 mengemukakan, perusahaan pembiayaan wajib memasang pengumuman di kantor pusat, kantor cabang, dan kantor selain kantor cabang.
"Hal itu menginformasikan kepada calon debitur dan debitur agar membaca dan memahami isi kontrak yang diatur dalam perjanjian pembiayaan," kata Ihsanuddin.