Thursday, 17 Jumadil Akhir 1446 / 19 December 2024

Thursday, 17 Jumadil Akhir 1446 / 19 December 2024

Ma’ruf Cahyono: Pembangunan Hukum Perlu Masuk Haluan Negara

Senin 07 Dec 2020 12:56 WIB

Red: Gita Amanda

Sekjen MPR Maruf Cahyono menyatakan pembangunan hukum semestinya masuk ke dalam haluan negara. (ilustrasi).

Sekjen MPR Maruf Cahyono menyatakan pembangunan hukum semestinya masuk ke dalam haluan negara. (ilustrasi).

Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Peletakan arah pembangunan hukum nasional dalam GBHN jauh lebih strategis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal MPR Ma’ruf Cahyono, mengatakan bahwa menempatkan arah pembangunan hukum nasional dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) jauh lebih strategis daripada ditempatkan dalam Undang Undang Nomor  25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

“Karena itu perlu adanya rekonstruksi sistem perencanaan  pembangunan model GBHN yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, dan menempatkan  sistem pembangunan hukum nasional dalam Haluan Negara. Dan, perlu memberikan kewenangan kepada MPR sebagai lembaga negara yang menyusun dan menetapkan haluan negara, serta mandat kepadab Presiden dan lembaga-lembaga negara untuk  melaksanakan haluan negara tersebut,” kata Ma’ruf Cahyono ketika menyampaikan orasi ilmiah di hadapan Sidang Senat Terbuka Wisuda ke-XXI Program Sarjana Hukum dan Progam Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum “IBLAM” di Jakarta, Sabtu (5/12) lalu.

Baca Juga

Ma’ruf Cahyono membawakan orasi ilmiah dengan tema “Indonesian Legal Policy Outlook” (Masa Depan Pembangunan Hukum di Indonesia). Orasi ini dihadiri Ketua Yayasan Lembaga Pengembangan Ilmu Hukum dan Managemen (LPIHM) “IBLAM” Rahmat Dwi Putranto, SH, MH, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum “IBLAM” Dr. Gunawan Nachrawi, SH, MH, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III Jakarta, Prof Dr Agus Setyo Budi, MSc,  Hakim Agung, Dr. Ibrahim SH.MH.LLM, serta civitas akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum “IBLAM”.

Dalam orasinya Ma’ruf menyebutkan titik tolak pertama kali hadirnya pembangunan hukum adalah sejak dideklarasikannya model hukum dan pembangunan pada tahun 1973. Pembangunan Hukum yang merupakan salah satu strategi pembangunan nasional pada saat itu dikembangkan dan kemudian dicantumkan dalam GBHN sebagai penentu arah kebijakan pembangunan di bidang hukum.

Akan tetapi, lanjut Ma’ruf, setelah reformasi konstitusi (1999-2002) terjadi perubahan pengelolaan pembangunan hukum yakni pertama, penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan APBN, kedua, ditiadakannya GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional, ketiga, diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Pembangunan Hukum kemudian  diletakkan dalam kerangka Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

“Beranjak dari perubahan paradigma pembangunan hukum tersebut, maka menurut pandangan saya  konsep pembangunan hukum dapat dilihat dari dua rumah besar yakni GBHN dan SPPN yang dipotret dalam kerangka mewujudkan 'Masa Depan Pembangunan Hukum Di Indonesia',” kata Ma’ruf yang juga alumus STIH “IBLAM”.

Menurut Ma’ruf, dari arah kebijakan pembangunan hukum dalam GBHN tampak pembangunan hukum tidak hanya diarahkan pada proses legislasi saja, tetapi juga dalam hal-hal yang lebih substantif. Pertama, mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat. Kedua, menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan adat. Ketiga, meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum.

“Setelah Undang Undang  Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN diundangkan, mekanisme pembangunan nasional mengalami perubahan, yang sebelumnya diatur dan dituangkan dalam GBHN menjadi diatur dalam SPPN melalui  pendekatan politik; teknokratik; partisipatif; atas-bawah (Top-Down); dan bawah-atas (Bottom-Up),” papar pria kelahiran Banyumas ini.

Dalam kenyataannya, bidang hukum dalam SPPN masih dalam tataran normatif (regulatif) saja, sedangkan aspek budaya hukum tidak tersentuh secara eksplisit. “Kerangka kebijakan regulatif ini dapat terlihat jelas dalam Pasal 4 ayat (2) Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN, yang menyatakan bahwa RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Presiden,” katanya.

Dengan demikian secara konstitusional agenda pemilihan presiden yang terjadi dalam periode lima tahunan, maka memungkinkan arah pembangunan hukum dapat saja berganti dikarenakan setiap Presiden akan menyusun arah kebijakan pembangunan hukum sesuai dengan visi dan misi masing-masing.

“Bahkan visi, misi dan program kerja Presiden terpilih (yang selanjutnya disusun sebagai RPJM Nasional) ternyata dalam beberapa hal (menyangkut materi dan arah pencapaian program) berbeda dengan visi, misi dan program kerja Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) terpilih. Maka, dapat terjadi perbedaan implementasi RPJM Nasional dengan RPJM Daerah. Perbedaan ini akan memberikan konsekuensi berbedanya arah pembangunan hukum pada tingkat nasional dengan daerah,” papar alumni program doktor ilmu hukum Universitas Jayabaya ini.

Karena itu, Ma’ruf menegaskan bahwa peletakan arah pembangunan hukum nasional dalam GBHN, jauh lebih strategis dari pada dalam Undang Undang No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN. Ada beberapa alasan. Pertama, dapat mengikuti perkembangan dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini disebabkan pembangunan hukum nasional dilandasi oleh sistem nilai salah satunya nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila.

Kedua, hukum dapat berlaku secara efektif di masyarakat. Setelah hukum dapat mengikuti perkembangan dinamika dalam masyarakat maka hukum nasional diharapkan akan dapat diberlakukan secara efektif di dalam masyarakat.   

Ketiga, merupakan hal yang paling penting tidak bertentangan dengan tujuan bangsa dan negara Indonesia. Dalam pembangunan atau pembentukan hukum nasional yang berlandaskan kepada nilai atau sila Pancasila dapat mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945.

Keempat, arah pembangunan hukum akan bersifat menyeluruh “overall”. Pembangunan tersebut didasarkan atas kebutuhan dan kepribadian bangsa Indonesia. Disusun atas dasar asas kedaulatan rakyat yakni oleh lembaga yang merepesentasikan seluruh rakyat yakni MPR.

“Oleh karena itu menurut pandangan saya, meletakkan pembangunan hukum dalam kerangka GBHN atau Haluan Negara akan membentuk pembangunan hukum yang bersifat ideologis, visioner, integratif, menyeluruh, dan berkelanjutan,” pungkasnya.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler