Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah*
REPUBLIKA.CO.ID, Jujur saja sejak beberapa tahun belakangan, penulis menghindari berkata sarkas atau sekadar bercanda di media sosial. Terutama bila mengkritik atau sekadar membuat bahan meme kebijakan-kebijakan pemerintah.
Alasannya tentu saja saat ini makin mudah seseorang, bahkan orang yang kita tidak kenal melaporkan berbagai cuitan atau tulisan di medsos. Terutama penggunaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Apalagi Pemerintah, berdasarkan ucapan Menko Polhukam Mahfud MD, akan mengaktifkan polisi siber. Bila merunut ucapan Menko Mahfud, bahwa terlalu toleran juga berbahaya. Khususnya bagi mereka yang menyerang atau mengancam pemerintah di media sosial, baik benar maupun salah.
Segala bentuk ancaman ataupun tindak kejahatan dan bahkan hoaks dapat ditelusuri oleh polisi siber. Bahkan mereka dapat melacak siapa yang menyebarkan ancaman pertama kali.
"Oleh sebab itu kalau ada orang mengancam-ngancam jam 8 pagi, jam 10 bisa ditangkap, bisa kok sekarang dan itu banyak dilakukan karena polisi siber," ujar Mahfud.
Hal ini pun mengundang pro kontra diantara pengamat dan kalangan DPR. Ketua Komisi III DPR Herman Herry, misalnya, mengizinkan pemerintah untuk mengaktifkan kembali polisi siber, seperti yang diungkapkan Menteri Menkopolhukam Mahfud MD. Sebab tujuan utama polisi siber adalah melindungi masyarakat.
Namun, ia mengingatkan agar polisi siber ini dipersiapkan dengan baik dan matang. Agar tak adanya tumpang tindih kewenangan dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Sementara, anggota Komisi III Arsul Sani juga mengingatkan tugas inti dari polisi siber ini. Agar tugasnya memang dikhususkan untuk menindak akun-akun di media sosial yang dinilai sebagai provokator.
"Akun-akun medsosnya memang selama ini dipergunakan untuk menyebarkan kebencian, info hoaks, melakukan pengancaman terhadap pihak lain dan hal-hal tersebut dilakukan berulang-ulang," ujar Arsul.
Berbeda dengan dua rekan sejawatnya, Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyarankan agar Polisi Siber lebih menggencarkan untuk mengatasi ribuan kasus penipuan daring yang telah merugikan masyarakat. Hal lebih baik dilakukan Polisi Siber dari pada menjalankan tugas kontra-narasi yang nantinya akan bertugas mengawasi kabar yang beredar di media sosial khususnya informasi hoaks.
Sukamta punya alasan tersendiri terkait usulan kasus penipuan daring. Ia mengatakan dalam 5 tahun terakhir jumlah laporan mencapai 13.520 dengan total kerugian mencapai Rp 1,17 trilliun.
Menurut dia, dari data tersebut, laporan penipuan daring mencapai 7.047 kasus, lebih banyak dari laporan penyebaran konten provokatif yaitu sebanyak 6.745 kasus. Bagi Sukamta laporan kasus penipuan daring berefek lebih besar namun tidak ada langkah serius dan strategis yang dilakukan pemerintah.
Bagi penulis, usul paling masuk akal bagi 'kerjaan' yang layak dilakukan polisi siber adalah memberangus penipuan daring. Daripada sibuk melakukan kontra wacana terhadap pengkritik di medsos, polisi siber bisa berkoordinasi dengan pihak perbankan juga misalnya menangkap pelaku penipuan berkedok investasi online misalnya.
Karena, bila fokus pada penangkapan pada akun-akun yang kontra pemerintah, alih-alih meningkatkan literasi penggunaan teknologi digital, malah bisa jadi membungkam kebebasan berpendapat. Karena tidak sedikit kritik-kritik yang disampaikan justru kritik membangun bukan sekadar black campaign semata.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id