
Oleh: Israr Itah, jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Setiap datang Ramadhan, pembicaraan yang kerap muncul adalah suasana menjalankan ibadah puasa di belahan dunia lain. Salah satunya, durasi puasa yang lebih lama dari negara kita. Bagaimana sih rasanya? Berat atau tidak? Begitu biasa yang tercetus di benak kita yang biasa berpuasa di kisaran 12 sampai 13 jam ini.
Tahun ini, umat Islam di Indonesia menjalankan ibadah puasa selama 13,5 jam. Namun di negara seperti Islandia atau Greenland, rentang waktu menahan haus dan laparnya bisa mencapai 17 jam ketika mendekati Idul Fitri. Tidak seperti di Indonesia, di Eropa sana, waktu shalat berubah cepat setiap hari, yang ikut memengaruhi durasi puasa.
Lantas, bagaimana rasanya menjalankan ibadah puasa di negara lain yang minoritas Muslim, dalam kondisi Anda bukan warga yang sudah menetap lama di sana, serta durasi tak makan dan minum lebih panjang dibandingkan Indonesia? Alhamdulillah, saya pernah merasakannya pada 2019 lalu waktu berkunjung ke Kota Paris. Ketika itu, saya berpuasa sekitar 20 jam saat baru tiba dan tiga hari berikutnya selama sekitar 16 jam di "kampungnya" Kylian Mbappe.
Rasanya? Biasa saja, sama seperti berpuasa di Indonesia, bahkan relatif lebih ringan. Bisa jadi karena cuaca saat itu cukup dingin yang membantu saya tak berkeringat meskipun lebih banyak beraktivitas dibandingan saat Ramadhan di Indonesia. Boleh jadi juga karena saya terlalu menikmati perjalanan saya di tempat yang untuk kali pertama saya kunjungi. Pemandangan baru sudut-sudut Kota Paris membuat rasa lapar dan haus tak terasa. Mungkin.
Saya berangkat pada Kamis, 16 Mei 2019, pukul 00.40 dini hari WIB dari Jakarta menuju Doha, Qatar. Saya baru menyantap sahur sekitar pukul 06.30 WIB di atas pesawat. Itu berdasarkan pemberitahuan dari pramugari. Yang saya ingat, pesawat sudah mulai memasuki Laut Arab berdasarkan rute peta yang terpampang di layar monitor di kursi penumpang.
Pukul 11.20 WIB, setelah transit selama dua jam, saya melanjutkan perjalanan dari Doha menuju Paris yang memakan waktu sekitar enam jam.
Tiba di Paris, saya disambut cuaca dingin sekitar 16 derajat Celcius, plus informasi bahwa waktu berbuka di sana adalah pukul 21.27 atau Jumat, 17 Mei dini hari pukul 02.27 WIB. Berarti, saya harus berpuasa sekitar 12,5 jam di pesawat plus transit, ditambah 7,5 jam di Kota Paris yang dingin. Totalnya 20 jam!
Awalnya sempat kaget juga. Namun malu rasanya tidak berpuasa, meskipun saya dapat menggunakan opsi sebagai musafir. Yang paling utama, saya tak mau direpotkan untuk mengganti puasa setelah Ramadhan. Jadilah saya membulatkan tekad untuk tetap berpuasa.
Dengan kondisi lelah perjalanan jauh, saya mendarat di Terminal 1 Bandara Charles de Gaulle, Paris sekitar pukul 13.15 waktu Paris. Sekitar pukul 14.00, saya sudah menunggu Roissybus dari bandara dengan tujuan Opera Garnier, gedung pertunjukan opera di Paris. Tiket bus saya beli di vending machine dengan biaya 12 euro. Hanya menunggu sekitar lima menit, saya sudah duduk di bus yang mirip dengan Transjakarta ini.
Butuh waktu sekitar setengah jam lebih untuk sampai di Geduang Opera Garnier. Saya sengaja memilih bus agar bisa melihat-lihat suasana Kota Paris. Rutenya melalui kampus Universitas Sorbonne, yang melekat di pikiran saya berkat novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
Menurut petunjuk arah yang saya terima, saya harus menyambung naik Metro, kereta bawah tanah di Paris, setelah tiba di Gedung Opera Garnier. Metro itu akan mengantarkan saya ke Boulougne Billancourt, salah satu kotamadya--sebut saja seperti itu--di pinggiran barat Kota Paris. Kalau patokannya Menara Eiffel, tempat saya menginap di salah satu hotel di Boulougne Billancourt hanya berjarak sekitar 6,8 km.