Rabu 17 Mar 2021 13:33 WIB

Perempuan Lebih Berisiko Alami Efek Samping Vaksin Covid-19

Perempuan memiliki respons antibodi lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
Perempuan disinyalir lebih mungkin mengalami efek samping vaksin Covid-19 dibandingkan pria. (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com.
Perempuan disinyalir lebih mungkin mengalami efek samping vaksin Covid-19 dibandingkan pria. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, ATLANTA -- Perempuan disinyalir lebih mungkin mengalami efek samping vaksin Covid-19 dibandingkan pria. Temuan itu terungkap dalam penelitian yang diterbitkan pada 26 Februari 2021 oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC).

Peneliti CDC mencermati laporan efek samping dari pemberian 13,8 juta dosis pertama vaksin antara 14 Desember 2020 hingga 13 Januari 2021. Dari semua laporan efek samping yang ada, sebanyak 79,1 persen dialami oleh perempuan.

Efek samping yang umum terjadi antara lain sakit kepala, kelelahan, nyeri lengan, dan pusing. Meskipun jarang, kaum hawa juga lebih mungkin mengalami anafilaksis terhadap vaksin, yakni reaksi alergi yang parah dan bisa mengancam nyawa.

Data terbaru CDC yang terbit di Journal of American Medical Association (JAMA), melaporkan reaksi anafilaksis dialami 19 pasien perempuan yang menerima vaksin Moderna. Sementara, 44 dari 47 reaksi anafilaksis terhadap vaksin Pfizer-BioNTech adalah pasien perempuan.

Meski terbilang langka, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mewajibkan setiap orang yang mendapat vaksin diobservasi selama 15 menit setelah suntikan. Jika sebelumnya pernah mengalami reaksi anafilaksis, waktunya menjadi 30 menit.

Baca juga : 'Angin Segar’ dari Jalan Tol Trans Sumatra

Reaksi itu dapat diatasi dengan obat yang disebut epinefrin, yang wajib ada di semua klinik vaksin Covid-19 Amerika Serikat. Selain reaksi anafilaksis, secara umum peneliti tidak terkejut mendapati temuan bahwa efek samping banyak dialami perempuan.

Penulis utama studi, Julianne Gee, mengatakan, penelitian yang dilakukan sebelum otorisasi vaksin Covid-19 juga menunjukkan hal serupa. Perempuan memiliki respons antibodi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki terhadap vaksin tertentu.

Ahli epidemiologi CDC menjelaskan, respons kekebalan yang lebih kuat dapat mengarah pada pengendalian infeksi yang lebih cepat. Akan tetapi, juga dapat menyebabkan peningkatan reaktogenisitas atau efek samping.

Bisa jadi pula lebih banyak perempuan meluangkan waktu untuk melaporkan efek samping ke CDC atau ke dokter dibandingkan pria. "Tapi ada kemungkinan perbedaan jenis kelamin juga," kata Gee, dikutip dari laman Very Well Health, Rabu (17/3).

Sabra L Klein yang menjabat sebagai salah satu direktur di Johns Hopkins Center for Women's Health, Sex, and Gender Research berpendapat perempuan tidak perlu khawatir dengan kondisi itu. Semua efek samping yang ada disebabkan oleh sistem kekebalan yang meningkatkan respons kuat terhadap vaksin.  

"Saya lebih suka mengalami efek samping kecil ini daripada terjangkit Covid-19 atau menularkan SARS-CoV-2 ke orang tua atau tetangga yang sudah lanjut usia," kata Klein.

Menurut Saralyn Mark, pimpinan pencegahan Covid-19 di American Medical Women's Association, sistem kekebalan tubuh yang kuat pada perempuan membantu tubuh lebih kebal terhadap infeksi. Itu termasuk respons reaktogenik dan imunogenik.

Baca juga : In Picture: Ada Apa dengan Vaksin Covid-19 AstraZeneca?

"Ini memberi tahu kita bahwa tubuh melakukan apa yang perlu dilakukan untuk mengajari dirinya merespons jika terkena  virus," ujar Mark yang juga menjabat sebagai penasihat kebijakan ilmiah untuk NASA dan Gedung Putih.

Perbedaan respons terhadap vaksin berdasarkan perbedaan gender disebut Mark penting untuk vaksinasi di masa depan. Mengingat perbedaan efek samping antara perempuan dan laki-laki, pemberian dosis vaksin bisa dirancang menjadi lebih tepat.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement