REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada pergeseran penyakit usai Lebaran yang berbeda seperti tahun sebelumnya di era Covid-19 ini. Pergeseran terjadi karema sebagian besar masyarakat tidak melakukan mudik.
Sehingga faktor kelelahan karena proses mudik tidak terjadi pada sebagian besar masyarakat. Tidak ada kemacetan yang luar biasa, tidak ada orang yang berdesak-desakanan untuk berebut naik bus atau naik kereta.
"Tetapi apakah penyakit pascalebaran tidak meningkat pascaLebaran di era pandemi global Covid-19 ini?," ujar akademisi dan praktis klinis, Ari Fahrial Syam dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id.
Ari mengatakan secara teori setelah puasa Ramadhan, seseorang yang berpuasa seharusnya memiliki kesehatan prima karena pada saat puasa tubuh sudah melakukan proses detoksifikasi, pengontrolan gula darah dan kolesterol. Termasuk tercapainya ketenangan jiwa yang optimal sehingga manusia yang berpuasa akan dilahirkan sebagai seorang bayi dengan kondisi yang bersih.
"Tapi faktanya banyak juga masyarakat yang mendapatkan sebaliknya setelah puasa Ramadhan berakhir, terjadi gangguan kesehatan bahkan sampai mengalami kecacatan dan kematian," ujarnya.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Prof Ari coba mengupasnya berdasarkan pengalaman klinis sebelumnya dan tentu mengabaikan budaya mudik dan silahturahmi karena pandemi global Covid-19.
Berbagai penyakit kronik umumnya cenderung akan mengalami kekambuhan setelah Lebaran. Apalagi seorang akan banyak di rumah dan tidak banyak bergerak karena tidak ada acara berkunjung selama masa pandemi global ini, makan dan mengemil menjadi kompensasi yang bisa dilakukan sebagian besar masyarakat pascapuasa Ramadhan ketika di rumah saja.
"Makanan dan minuman yang tersedia selama Lebaran ini biasanya akan lebih banyak dan bervariasi," ujar dia.
Umumnya makanan tersebut tinggi lemak, manis dan asin. Biasanya makanan yang berlemak cenderung menjadi pilihan karena bisa tahan lama dan bisa dipanaskan berulang. Budaya untuk menghadirkan makanan dan camilan yang bervariasi tampaknya akan tetap dilakukan oleh sebagian besar masyarakat.
Berbagai minuman kaleng yang bersoda juga tersedia selama lebaran. Apalagi makanan dan minuman yang tersedia hanya dikonsumsi oleh anggota keluarga. Masing-masing kerabat akan menahan diri untuk saling bersilaturahmi. Sehingga makanan dan minuman yang di rumah hanya dikonsumsi sendiri.
Tentunya bisa saja makanan-minuman ini juga dikonsumsi oleh seseorang yang sudah mempunyai penyakit kronik, penyakitnya dapat mengalami kekambuhan. Pasien dengan penyakit kencing manis akan cenderung gula darahnya menjadi tidak terkontrol. Pasien dengan penyakit darah tinggi tekanan darahnya menjadi tidak terkontrol.
Pasien dengan hiperkolesterol atau asam urat tinggi maka keadaan kolesterol dan asam urat tingginya menjadi bertambah parah. Kalau pasien yang sudah obesitas dan jika saat berpuasa sudah mengalami penurunan berat badan sehabis lebaran cenderung berat badannya kembali seperti sebelum puasa dan jika makannya tidak terkontrol selama lebaran bahkan berat badannya akan bertambah melonjak.
Harus diingat pasien Covid-19 dengan penyakit penyerta termasuk obesitas akan mempunyai prognosis buruk dan mendapat komplikasi jika terinfeksi Covid-19. Oleh karena berat badan yang sudah turun ini harus dipertahankan. Sakit maag yang sudah sembuh akan kembali kambuh karena makan tidak teratur dan mengonsumsi makanan yang berlemak, coklat dan keju berlebihan serta makan yang asam dan pedas.
Pada akhirnya antisipasi terhadap berbagai penyakit seputar Lebaran merupakan hal yang penting. "Kita harus selalu ingat bahwa di masa pandemi global Covid-19 saat ini, daya tahan tubuh harus selalu prima oleh karena itu kita harus bijak untuk mengonsumsi makanan dan minuman," ujar Ari.