Ahad 11 Jul 2021 20:01 WIB

Mengugat Rencana Amandemen UU Masa Jabatan Presiden

Pembatasan masa jabatan seharusnya disertai revisi pasal-pasal tentang syarat capres.

Debat capres-cawapres (Ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Debat capres-cawapres (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Rachman Thaha, Anggota Komite I DPD RI

Ketua MPR RI, Bambang Seoesatyo, pada 5 Juli 2021 menyatakan rencana amandemen UUD tidak akan mengubah masa jabatan presiden dari dua periode ke tiga periode (atau lebih). Pada poin itu, sikap Ketua MPR patut didukung.

Namun bagian lain dari pernyataan Ketua MPR justru merisaukan. Ia mengatakan, amandemen UUD 1945 hanya fokus pada penambahan dua pasal. Yaitu, pasal tentang pemberian kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN, serta penambahan ayat pada Pasal terkait kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN.

Bagian dari pernyataan Ketua MPR itu menjadi indikasi kuat bahwa sebagian besar partai politik, termasuk parpol asal Ketua MPR, masih ingin menggenggam kedaulatan rakyat dan mengerdilkannya menjadi kedaulatan parpol. Saya memandang, penegasan pembatasan masa jabatan presiden seharusnya disertai dengan revisi pasal-pasal tentang syarat calon presiden/wakil presiden.

Spesifik, yang saya maksud, adalah jabatan presiden harus terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia. Seluruh rakyat, tanpa kecuali, boleh mengajukan dirinya tanpa disaring dengan ambang pembatasan apa pun. Presidential threshold menjadikan pengajuan calon pemimpin nasional sebagai kekuasaan hegemonik parpol.

Parpol memang tidak terlarang. Kehadiran parpol bahkan merupakan keharusan dalam tatanan demokrasi. Namun kekuasaan yang menghegemoni oleh parpol tidak semestinya dibiarkan, terlebih pada konteks pencalonan presiden dan wakil presiden.

Saya bisa merasakan kegelisahan publik yang menangkap kesan kuat adanya "permainan yang kotor dan berisiko tinggi" yang terus dan semakin intens berlangsung di Tanah Air. Begitu parahnya, sampai-sampai--jika dibiarkan berlarut-larut--sistem perpolitikan nasional kita akan kolaps dan kita akan berhadapan dengan situasi serba tak menentu (anomi) yang berkepanjangan.

Presidential threshold, yang dibiarkan hidup di dalam situasi sedemikian rupa, nantinya memang tetap akan bisa menghasilkan duet kepemimpinan nasional. Tapi presiden (dan wapres) dari sistem tersebut akan sejak dini mengalami defisit representativeness yang sesungguhnya.

Individu yang terpilih sebagai presiden akan menjadi sosok yang lebih merepresentasikan parpol, bukan sosok yang sungguh-sungguh merepresentasikan rakyat. Presiden semacam itu, betapa pun terpilih lewat mekanisme yang legal, saya khawatirkan tidak akan mampu mengeluarkan situasi serba membingungkan yang terasa semakin berat belakangan ini.

Kita punya kebutuhan bahkan kewajiban untuk mencegah terulangnya kepemimpinan yang rapuh. Sunguh penting kita melakukan perlawanan rasional terhadap presidential threshold. Kita perlu menyuntikkan kehidupan baru untuk mendobrak hegemoni parpol. Muaranya, kita harus menemukan individu-individu yang sungguh-sungguh menunjukkan komitmennya pada isu atau persoalan, bukan individu yang menonjolkan loyalitasnya pada partai.

Atas dasar itu, selaku anggota DPD dan DPD merupakan salah satu unsur dalam MPR RI, saya mengambil posisi berseberangan dengan Ketua MPR RI. Posisi ini saya ambil selama MPR RI tidak menjadikan penghapusan presidential threshold sebagai poin dalam amandemen UUD 1945.

Seluruh anggota dan pimpinan DPD RI, selaku representasi wakil rakyat nirpartisan, seyogyanya memiliki penghayatan dan gerak langkah yang sama dalam persoalan ini. Yaitu, membuka ruang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat Indonesia, serta meniadakan ganjalan presidential threshold, sebagai garis start untuk membawa kehidupan negara-bangsa ke era yang lebih baik.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement