REPUBLIKA.CO.ID, SEATTLE -- Sebagian orang berpandangan perjalanan wisata adalah pemborosan, penyebab kerusakan lingkungan, serta pemicu ketidakpekaan budaya. Belum lagi perjalanan yang menggunakan jet, pesawat pribadi, atau kapal pesiar.
Hadirnya pandemi memicu perubahan pola pikir mengenai perjalanan wisata. Banyak pihak mulai menggagas perjalanan yang berkelanjutan, edukatif, regeneratif, dan berbasis filantropi. Sebagian orang juga mulai berminat menjajalnya.
Perusahaan perjalanan Explorer X yang berbasis di Seattle, Amerika Serikat, adalah salah satu penyedia wisata yang berfokus pada konsep perjalanan transformasional. Perjalanan diarahkan untuk lebih berfokus pada refleksi batin dan kontemplasi.
Salah satu pendiri Explorer X, Michael Bennett, menyampaikan bahwa pihaknya membantu wisatawan fokus pada hal yang lebih mendasar. Alih-alih makanan dan minuman yang dikonsumsi atau asyik berswafoto, tapi fokus ke pengalaman bermakna.
Bennett mengkristalkan konsep perjalanan transformasional sebagai ekspedisi serupa petualangan dengan berbagai filosofinya. Ada sesuatu yang baru dan berbeda yang didapat, entah itu membuat seseorang merasa lebih hidup atau perspektif baru.
"Menjalani pengalaman luar biasa dengan banyak tantangan dan uji coba, kemudian pulang ke rumah dan apa yang sudah dipelajari dipakai untuk menciptakan perubahan dalam hidup dan komunitas," kata kandidat doktor di Pepperdine University itu.
Cara pikir itu sejalan dengan inisiatif Jake Haupert membentuk The Transformational Travel Council pada 2017. Dewan itu mempromosikan perjalanan yang sangat personal dan terbukti populer karena kini memiliki lebih dari 300 anggota.
Menurut Haupert, perjalanan dalam 20 hingga 30 tahun terakhir memang mengalami pergeseran. Semula, perjalanan wisata berpusat pada aspek hiburan. Orang-orang bepergian dengan perspektif "apa yang bisa saya dapatkan dari perjalanan ini?", bukannya "apa yang kira-kira bisa saya berikan?".
Hikmah dari pandemi, perspektif itu berubah menjadi lebih baik. Pelancong cenderung mencari tempat-tempat terpencil dan liar, mencari tempat yang tenang, mencari langit yang lebih gelap, mencari hal yang menciptakan rasa kagum terhadap alam.
Dengan begitu, seseorang bisa lebih mengenal diri sendiri selama perjalanan. "Ada kesempatan untuk membangun kepercayaan diri dan menjadi lebih berani ketika pulang ke rumah dan mudah-mudahan melakukan semacam transformasi," ujar Haupert.
Jenn Spatz dari Global Family Travels turut melakoni hal yang sama. Bisnis perjalanan yang dia dirikan dimaksudkan agar wisatawan keluarga bisa melancong untuk berinteraksi dengan orang yang dijumpai dalam perjalanan dan mengenal gaya hidup yang berbeda.
Spatz hendak menginspirasi turis untuk menjadi "warga global", belajar tentang tantangan yang dihadapi komunitas tertentu. Dia juga mendorong pelancong terhubung secara autentik dengan destinasi dan orang-orang di destinasi yang dikunjungi.
Menurut dia, tidak perlu bepergian sejauh mungkin untuk mendapatkan pengalaman transformatif, bahkan bisa dilakukan tanpa meninggalkan kota asal. Cukup melakukan tur di taman kota, tur sejarah, tur seni jalanan, atau mengunjungi komunitas tertentu.
Kata kuncinya adalah perjalanan yang bermakna. "Anda mungkin mengingat keindahan tempat tujuan, tetapi hal yang benar-benar berkesan adalah orang-orang yang Anda temui dan pengalaman yang Anda pelajari dari satu sama lain," ungkap Spatz, dikutip dari laman Seattle Times, Selasa (13/7).