Ahad 18 Jul 2021 15:08 WIB

Hoaks Soal Kesehatan Bisa Perburuk Covid-19

Perusahaan aplikasi didesak memotong rantai hoaks, terutama soal Covid-19.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Berita-berita hoaks terkait Covid-19 (ilustrasi)
Foto: Republika
Berita-berita hoaks terkait Covid-19 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Seorang dokter asal Amerika, Vivek Murthy, menegaskan bahwa informasi kesehatan keliru yang banyak beredar di media sosial bisa memperburuk dan memperpanjang pandemi Covid-19. Karenanya, mantan wakil laksamana dalam Public Health Service Commissioned Corps tersebut mendesak platform media sosial termasuk Twitter dan Facebook untuk serius mengatasi problem ini.

Murthy juga meminta agar platform media sosial membuat seperangkat pedoman yang benar-benar bisa membangun lingkungan informasi kesehatan yang kredibel bagi pengguna media sosial. “Hari ini, kita hidup di mana informasi yang salah menimbulkan ancaman yang berbahaya bagi kesehatan bangsa. Perusahaan teknologi modern telah membiarkan informasi yang salah dan disinformasi menyebar ke seluruh platform mereka,” kata Murthy seperti dilansir di VOX, Ahad (18/7).

Dia juga mendesak keseriusan aplikasi dalam memotong rantai hoaks kesehatan dan informasi keliru tentang kesehatan khususnya Covid-19. Misalnya dengan meningkatkan pengawasan secara ketat, atau sanksi yang lebih lebih agresif kepada siapapun penyebar dan pembuat informasi menyesatkan tentang Covid-19.

Desakan ini muncul seiring menurunnya tingkat vaksinasi Covid-19 di AS, sementara kasus positif Covid-19 kembali meningkat setelah adanya varian delta. Jangkauan vaksinasi yang rendah juga ditengarai karena misinformasi, dimana masyarakat tidak percaya dengan keamanan dan efektivitas vaksin melawan virus corona.

Misinformasi tentang Covid-19 memang kian meningkat karena media sosial seolah memberikan ‘panggung’ bagi para penganut konspirasi. Mis atau disinformasi dinilai telah mempengaruhi hasil pemilihan presiden 2016, meningkatnya polarisasi politik, berperan dalam pembersihan etnis Muslim Rohingya di Myanmar, dan sekarang, berpotensi memperpanjang pandemi.

Pakar biologi evolusi dan profesor di Washington University, Carl T Bergstrom, mendorong agar ada penelitian lebih lanjut tentang dampak media sosial pada masyarakat. Media sosial, internet, termasuk pencarian yang didorong algoritma dan iklan berbasis klik, telah mengubah cara masyarakat mendapatkan informasi dan membentuk opini tentang dunia.

“Dan cara-cara yang dipraktikkan di media sosial membuat orang sangat rentan terhadap penyebaran informasi yang salah dan disinformasi,” jelas Bergstrom.

Sebenarnya, berbagai platform seperti Twitter, Youtube, hingga Facebook, telah melakukan upaya untuk menyetop penyebaran informasi palsu, termasuk dengan menghapus unggahan foto dan video. Berbagai platform juga telah proaktif memfilter akun dan unggahan yang bisa membuat informasi salah tentang vaksin.

"Mengatasi misinformasi kesehatan membutuhkan pendekatan yang menyeluruh. Kami akan terus mengambil tindakan terhadap konten yang menyesatkan, dan meningkatkan serta memperluas upaya kami untuk meningkatkan informasi kesehatan yang kredibel dan andal, khususnya di tengah pandemi Covid-19,” kata juru bicara Twitter dalam sebuah pernyataan.

Juru bicara Youtube, Elena Hernandez, juga mengatakan bahwa platform mereka telah berupaya menghapus konten tentang Covid-19 yang tidak sesuai dengan kebijakan. Kevin MccAllister, dari Facebook juga menyatakan bahwa perusahaan telah bermitra dengan pakar pemerintah, otoritas kesehatan, dan peneliti untuk mengambil tindakan agresif terhadap informasi yang salah tentang Covid-19 dan vaksin, demi melindungi kesehatan masyarakat.

“Kami telah menghapus jutaan unggahan yang memuat informasi keliru tentang Covid-19, dan kami mencoba memandu pengguna ke sumber terpercaya tentang virus dan vaksin,” kata McAlister.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement