Oleh : Ratna Puspita, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Jamaah haji mulai memadati Masjidil Haram pada bulan Dzulqaidah ketika bulan Syawal yang menjadi bulan bagi Muslim merayakan kemenangan baru saja selesai. Lantai Masjidil Haram yang dingin akan menyapa kaki-kaki telanjang jamaah setelah panas hampir 50 derajat menyapa kening ketika berdiri di udara bebas.
Orang-orang tampak padat di depan Kakbah ketika mereka berjalan mengelilinginya sembari menggandeng orang kesayangan. Ada istri dan suaminya. Ada anak mendorong kursi roda orang tuanya. Ada sepasang suami dan istri mengapit seorang ibu tua.
Orang-orang berjejalan mencoba menyentuh Hajar Aswad, mencoba menyelip demi bisa sholat di Hijir Ismail, berlama-lama sujud di sekitar Maqam Ibrahim, dan meratap sembari memegang kiswah atau kain yang menutupi Kakbah. Suara-suara askar atau pengaman khusus Masjidil Haram pun akan sering terdengar.
Jika pada hari-hari di Tanah Air sangat berat berjalan kaki sejauh 2,8 kilometer, kaki terasa ringan ketika menjejakan kaki dan berjalan antara bukit Shafa dan Marwah. Bahkan ketika Anda tidak sedang melakukan umrah, melainkan membantu mendorong jamaah yang menggunakan kursi roda.
Pada akhir pekan, ada pula anak-anak berlarian di pelataran Masjidil Haram. Kian dekat dengan bulan Dzulhijjah, jamaah dari penjuru dunia akan mulai terlihat di Masjidil Haram. Pakaian setiap jamaah akan menjadi simbol bagi negaranya.
Ada rombongan jamaah Turki yang selalu rapi memasuki Masjidil Haram. Jamaah yang berbadan besar akan terlihat di depan dan di bagian belakang dengan fungsi membuka jalan dan menjaga tidak ada anggota jamaah yang hilang. Selain itu, mereka saling menjaga jamaah yang berusia lanjut atau menggunakan kursi roda.
Rombongan jamaah dari China dalam jumlah yang lebih kecil dari jamaah Turki juga punya pengaturan yang mirip. Ada pula jamaah dari India, dan Uyghur dengan ciri khas masing-masing. Jamaah dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina punya kekhasan dalam hal mukena. Bedanya, Indonesia punya lebih banyak asesoris yang disematkan seperti syal batik.
Ketika Masjidil Haram mulai padat, kiswah atau kain yang menutupi Kakbah akan mulai diangkat. Jalan-jalan di Kota Makkah juga akan semakin padat dengan kendaraan. Pengantar katering untuk jamaah haji Indonesia harus beradu cepat dengan bus, dan mobil.
Kota Makkah menghadirkan pengalaman tersendiri ketika Anda memasukinya. Enam tahun lalu, saya menyadari bahwa saya sudah memasuki Makkah ketika melihat jam pada Hotel Tower di Kompleks Menara Abraj Al Bait. Saya juga teringat pada apa yang orang bilang bahwa Abraj Al Bait adalah simbol kapitalisme di Kota Makkah.
Kala itu, saya dan rombongan petugas haji dari Indonesia tiba ketika langit sudah gelap dan udara cukup dingin. Rombongan yang sudah miqat, baik di pesawat maupun di bandara Jeddah, langsung menuju Masjidil Haram. Ada sejumlah lokasi miqat lain seperti Masjid Tan'im atau dikenal juga dengan nama Masjid Aisyah, masjid di Hudaibiyah, Masjid Ji'ranah, dan Bir Ali jika Anda berangkat dari Madinah.
Kota Makkah biasanya akan tampak ramai pada Kamis malam Jumat ketika orang-orang keluar. Bahkan, tidak jarang saya masih melihat anak-anak main di taman masjid hingga pukul 02.00 waktu setempat. Bin Dawood, supermarket di Arab Saudi, masidh dipadati pembeli hingga tengah malam.
Jelang hari berhaji, rombongan jamaah haji akan mulai berangkat ke Arafah pada 8 Dzulhijjah. Saya masih ingat pertama kali ke Arafah menengok tenda-tenda bagi jamaah haji. Arafah terasa panas dan tidak ada angin.
Tenda-tenda Arafah, khususnya di tempat petugas haji, akan berubah menjadi tenda perang pada Hari Arafah. Banyak jamaah yang dibawa masuk ke tenda-tenda karena mengalami dehidrasi. Di tenda, mereka akan mendapatkan perawatan dari tenaga kesehatan Indonesia.
Sebagian jamaah dibawa sudah dalam keadaan wafat, sebagian lainnya meregang nyawa di dalam tenda. Angka jamaah haji yang wafat yang setiap tahun coba diturunkan oleh pemerintah.
Arafah bukan satu-satunya rangkaian ibadah haji yang akan menguras fisik, mental, dan psikis. Jamaah masih harus ke Mudzalifah, Mina, dan Masjidil Haram. Jalan kaki dari tenda jamaah ke Mina punya banyak cerita.
Namun, hal yang juga saya ingat dari semua prosesi tersebut adalah haji bukan hanya soal ibadah fisik, tetapi bagaimana kita melihat kemanusiaan dan harapannya tentu menjadi manusia. Ada banyak manusia di Makkah, baik di Masjidil Haram, Arafah, maupun Mina, yang akan mengajarkan kita caranya menjadi manusia.
Mereka bisa muncul dalam tubuh perempuan tua yang harus Anda bantu dorong kursi rodanya. Ketika mendorong, Anda bertanya-tanya apakah Anda sanggup mendorong kursinya ketika jalan menanjak. Namun, entah bagaimana, Anda bisa melakukannya.
Mereka bisa muncul dalam diri pasangan suami-istri yang bergandengan tangan, berpisah baik karena terpisah oleh kepadatan jamaah maupun karena Allah memanggilnya lebih dulu. Mereka bisa muncul dari dokter yang menegur seorang jamaah laki-laki yang menangis sembari menutupi kepalanya dengan ketika ia sedang berihram.
Ketegasan dokter mengingatkan bahwa dalam suasana sedih pun ia tetap punya tanggung jawab agar jamaah menjaga ihramnya. Para dokter dan tenaga kesehatan juga memperlihatkan kesigapan dan upaya luar biasa untuk menyelamatkan nyawa dalam kondisi serba terbatas.
Ada banyak wajah-wajah yang bisa menunjukkan kemanusiaan atau menjadi manusia ketika berhaji. Sayangnya, sudah dua tahun ini musim haji tidak lagi sama. Pandemi COVID-19 telah mengubahnya.
Pemerintah Arab Saudi hanya mengizinkan haji diikuti oleh jamaah yang memang tinggal di negaranya. Ada 327 WNI di Arab Saudi yang bisa berhaji di Makkah. Haji pun dilakukan dengan protokol kesehatan ketat. Wajah Masjidil Haram tidak lagi sama dengan sebelum pandemi COVID-19.
Sudah dua kali Idul Adha, para tenaga kesehatan di Indonesia tidak lagi berjibaku di tenda-tenda jamaah di Arafah dan Mina. “Tenda perang” itu pindah ke rumah sakit-rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang melayani pasien COVID-19.
Semoga pagebluk ini segera berakhir dan beban tenaga kesehatan mencoba menurunkan angka kematian karena COVID-19 bisa berkurang. Jika pagebluk berakhir maka Masjidil Haram kembali terisi jamaah dari seluruh dunia. Setiap jamaah yang berkesempatan berhaji pun punya kesempatan untuk menemukan hakikat menjadi manusia.