REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Bidang Pengawasan Albert Purwa mengatakan, fungsi legislasi DPR selama Masa Sidang V Tahun Sidang 2020-2021, berjalan tak maksimal. Terbukti dari hanya diselesaikan satu undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.
"Pengesahan RUU Perubahan UU Otonomi Khusus Papua tidak layak mendapatkan apresiasi. Apalagi, karena proses pembahasannya sangat minim partisipasi masyarakat," ujar Albert dalam rilis daringnya, Kamis (12/8).
Berdasarkan penelusuran Formappi, DPR, khususnya Komisi II hanya sekali menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Direktur Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) dan Ketua Forum Komunikasi Antardaerah Tim Pemekaran Papua Selatan. Namun, tidak mengajak Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dalam rapat.
Padahal, RUU Otsus Papua mengatur ihwal kewenangan dan posisi MRP. Salah satunya adalah keanggotaannya tak boleh dari kader partai politik.
"Dengan demikian kelihatan bahwa DPR dan pemerintah melalui RUU ini ingin menjadi pemegang kendali atas Papua," ujar Albert.
Di samping RUU Otsus Papua, Formappi melihat ada RUU lain yang memiliki urgensi sama pentingnya untuk masyarakat, tapi tak diselesaikan pada Masa Sidang V. Dua di antaranya adalah RUU Perlindungan Data Pribadi dan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
"DPR mestinya bisa lebih produktif jika konsisten dan berkomitmen untuk fokus bekerja sesuai dengan fungsi pokok mereka," ujar Albert.
Tak segera diselesaikannya RUU PDP dan RUU Penanggulangan Bencana meruapakan bukti rendahnya komitmen DPR dan pemerintah dalam melihat permasalahan rakyat. Bahkan, materi yang nyaris rampung tak segera diselesaikan dan diperpanjang masa pembahasannya.
"Apa saja alasan perpanjangan pembahasan tidak terinformasikan ke publik sebagai pihak yang harus tunduk kepada setiap peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh negara," ujar Albert.