Oleh : Sri Martiani Dermawan, S.Si, Lulus sebagai Sarjana Matematika Institut Teknologi Bandung tahun 1993. Mendirikan Taman Kanak Kanak pada tahun 2000 dan menjadi Kepala Sekolah TK selama 21 tahun. Sejak tahun 2002 menjadi pengurus Yayasan Pendidikan Harapan Umat. Tahun 2016 - sekarang diamanahi menjadi Ketua IGTKI Kecamatan Jatinegara Jakarta Timur.
REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi sudah berlangsung selama satu setengah tahun. Selama itu pula kegiatan belajar diadakan di rumah, termasuk pendidikan anak usia dini. Alih alih belajar bersama teman sebaya , semua kegiatan dilakukan bersama orangtua. Lalu bagaimana nasib lembaga taman kanak kanak dan SPS selama pandemi ini?
Menurut Dirjen Paud Dikdasmen Kemdikbud Jumeri, Jumlah peserta PAUD pada tahun ajaran 2020/2021 turun sekitar 600 ribu anak. Hal tersebut beliau sampaikan saat menghadiri webinar Hari Gizi Nasional Senin tanggal 1 Februari 2021, di Jakarta. Pada awal tahun ajaran 2021/2022 jumlah tersebut semakin menurun.
Padahal sebelum pandemi pun angka partisipasi kasar (APK) Paud Nasional hanya mencapai 41,18. Dari 19.118.894 anak usia 3-6 tahun yang masuk sekolah PAUD cuma 7.873.572 anak.(data BPS tahun 2020 ). Artinya belum sampai 50 persen anak usia dini yang berkesempatan sekolah di TK/SPS/RA/KB.
Apa dampak yang dihadapi oleh lembaga akibat penurunan jumlah siswa tersebut?Pertama, turunnya jumlah siswa yang diterima di PAUD pasti berdampak pada kemampuan perkembangan anak. Anak kehilangan kesempatan bersosialisasi bersama teman sebaya dan orang dewasa selain keluarga. Padahal pada usia ini anak membutuhkan lingkungan sosial untuk membentuk karakter dan mengembangkan 6 aspek perkembangannya. Hilangnya kesempatan bermain ini bisa menimbulkan stress yang berkelanjutan jika tidak ditangani dengan baik.
Kedua, keberlangsungan hidup lembaga, dimana sebagian besar paud(TK) menggantungkan biaya operasionalnya dari iuran siswa. Ketidak mampuan lembaga mengatasi masalah ini menyebabkan banyak sekolah yang merumahkan gurunya, bahkan menutup sekolah.
Ketiga adalah guru. Ketiadaan pembelajaran tatap muka di sekolah bersama siswa menyebabkan guru kurang maksimal mengenal siswa. Mereka kesulitan mengeksplorasi kegiatan bermain dan mengembangkan aspek perkembangan anak.
Menurunnya jumlah siswa juga menyebabkan menurunnya juga jumlah pendapatan yang didapat oleh guru. Banyak yang hanya digaji sejumlah uang pulsa buat belajar online. Di sisi lain, beban tanggung jawab guru semakin bertambah karena harus mempersiapkan bahan ajar yang beragam. Guru juga dituntut kreatif saat mengirimkan bahan ajar baik berupa gambar, video ataupun Voice note.
Lantas, apa yang menyebabkan masyarakat enggan memasukkan anaknya ke lembaga PAUD? .Banyak yang menganggap belajar daring hanya menambah beban orangtua. Sebagian lagi menganggap ketrampilan yang dibutuhkan saat ini hanyalah membaca , menulis dan berhitung. Sehingga aspek bermain, bersosialisasi dan mengembangkan diri di reduksi menjadi 3 kemampuan tersebut. Wajar dalam saat pandemi inipun, kursus atau les baca, tulis dan berhitung tetap menjamur walaupun dilakukan secara sembunyi sembunyi.
Bagaimana lembaga dalam hal ini yayasan mempertahankan kelangsungan hidupnya?. Sebagai lembaga swasta , tentu banyak biaya operasional yang harus dikeluarkan setiap bulannya. Mulai gaji guru, listrik, kebersihan, perlengkapan administrasi, kuota, dan lain lain. Sebagian pimpinan lembaga mengeluarkan kantong pribadi untuk membayar gaji guru, sebagian lagi merumahkan tenaga pengajar, membayar gaji guru dua bulan sekali, dan yang lebih miris, tetap mengajar tanpa dibayar.
Sementara itu mempersiapkan sekolah daring bukanlah hal yang mudah. Apalagi bagi guru yang belum melek teknologi. Perlu usaha yang sungguh sungguh untuk merubah paradigma dan kemampuan mengajar cara baru tersebut.
Karena begitu berat perjuangan yang harus dilakukan, dengan penghasilan yang tidak seberapa, bahkan tidak dibayar, maka banyak lembaga dan guru yang kemudian memutuskan berhenti . Sekolahnya ditutup dan gurunya beralih profesi.
Tentunya hal ini sangat disayangkan. Pada saat kita hendak berjuang meningkatkan APK PAUD, pandemi menurunkan partisipasi orangtua dan siswa ke sekolah. Kita tak bisa mendeteksi seperti apa proses pertumbuhan dan perkembangan anak di rumah selama anak usia dini tersebut tidak terkoneksi ke lembaga pendidikan dan kesehatan. Posyandu dan kegiatan tumbuh kembang lainnya pun sementara ini ditutup.
Akankah kita membiarkan 19 juta anak usia dini kita ini tumbuh dan berkembang tanpa bimbingan yang maksimal? Padahal mereka adalah calon penduduk produktif di tahun 2045 nanti.
Harapan kita semua, pemerintah tidak abai akan hal ini. Perlu keseriusan semua pihak, menyikapi kondisi yang terjadi. Isu wajib PAUD satu tahun yang sempat dicanangkan pemerintah perlu diwujudkan dalam langkah nyata.
Alangkah indahnya jika ada kolaborasi antara dinas pendidikan, GOPTKI, organisasi profesi guru, dinas kesehatan, kependudukan, tokoh masyarakat, tokoh agama, juga bunda PAUD di seluruh jenjang. Yang paling penting adalah adanya kebijakan pemerintah, baik aturan maupun dana yang memadai buat keberlangsungan masa depan bangsa ini. Sekali kita lalai , negara kita taruhannya.