REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tak berubah terkait syarat dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler yang mengharuskan sekolah memiliki minimal 60 peserta didik dalam tiga tahun terakhir. Padahal, sejumlah organisasi, mulai dari Muhammadiyah hingga NU, telah mengkritik dan meminta atruan itu dicabut.
"Tentu masukan dari berbagai pihak akan menjadi pertimbangan kami," kata Plt Kepala Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kemendikbudristek, Anang Ristanto, ketika ditanya apakah akan mengkaji ulang atau tetap melanjutkan aturan tersebut, Ahad (5/9).
Aturan yang dimaksud ialah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler. Ketentuan soal minimal 60 peserta didik dalam tiga tahun terakhir, termaktub dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d .
Anang menerangkan, aturan tersebut belum berdampak tahun ini. Termasuk di sekolah yang memiliki peserta didik kurang dari 60 orang. Sekolah-sekolah itu dipastikan akan tetap menerima dana BOS.
Saat ini, lanjut Anang, semua sekolah sedang diberikan waktu penataan selama tiga tahun. Adapun, aturan ini sebenarnya sudah ada sejak 2019 sebagaimana termaktub dalam Permendikbud Nomor 3 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis BOS Reguler.
"Kemendikbudristek sedang mengkaji kesiapan penerapan kebijakan di atas untuk tahun 2022 dan senantiasa selalu menerima masukan dari berbagai pihak," kata Anang kepada Republika, Ahad (5/9).
Sebelumnya, Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan yang merupakan gabungan dari organisasi pendidikan di lingkungan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan juga organisasi pendirikan, menilai aturan terkait dasar perhitungan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler, yang salah satunya harus memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir, diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial. Aliansi menyatakan menolak aturan tersebut dan meminta pemerintah mencabut ketentuan tersebut.
"Bertolak belakang dengan amanat pembukaan UUD 1945, bersifat diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial," ujar Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Kasiyarno, saat membacakan pernyataan sikap aliansi secara daring, Jumat (3/9).