REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sillicon Valley dianggap sebagai gudang-nya inovasi-inovasi dunia. Namun, ternyata ada proyek di dunia digital, bahkan yang lahir dengan mengusung embel-embel Silicon Valley hanya merupakan proyek 'tipu-tipu' dan hanya menawarkan mimpi.
Ini yang terjadi pada startup Theranos. Pada 2003, mahasiswa Universitas Stanford yang berusia 19 tahun, Elizabeth Holmes, mendirikan perusahaan rintisan yang diberi nama Theranos.
Holmes berjanji untuk membalikkan industri pengujian medis yang luas dengan teknologi. Dia menjanjikan bisa melakukan berbagai tes kesehatan hanya dengan setetes darah.
Perusahaan ini kemudian mencapai puncaknya sekitar 19 tahun kemudian. Tepatnya ketika mencatatkan valuasi senilai 10 miliar dolar Amerika Serikat (AS), sebelum semuanya runtuh. Hampir 20 tahun setelah peluncuran Theranos, kini Holmes diadili karena dituduh menipu para klien dan investor.
Sejarawan sekaligus profesor di Universitas Washington, Margaret O'Mara mengatakan, kebangkitan dan kejatuhan Theranos mencerminkan momen yang sangat khusus dalam sejarah Silicon Valley. Selama ini, Silicon Valley terobsesi dengan para pendiri muda yang merayakan keberhasilan perusahaan rintisan mereka dengan awal yang sederhana.
Contohnya, Mark Zuckerberg yang mengubah dunia dari kamar asramanya. Selain itu, ada pula Sergei Brein dan Jeff Bezos yang berkarya dari garasinya.
Namun, pada saat yang sama, beberapa investor justru frustrasi karena karya dari Silicon Valley kini hanya terkonsentrasi pada platform sosial. Menurut O'Mara, kehadiran Theranos cukup mengguncang dunia rintisan.
Keadaan ini juga sangat menguntungkan bagi Holmes. Sebab, nama-nama besar, seperti Bezos, Zuckerberg, dan Bill Gates, sudah sekian lama mendominasi panggung. Publik seperti butuh pembaruan.