Ahad 07 Nov 2021 00:20 WIB

Apa yang Terjadi Ketika Tubuh Resisten Antibiotik?

Laju resistensi antimikroba harus ditekan, termasuk dengan bijak konsumsi antibiotik.

Rep: Santi Sopia/ Red: Reiny Dwinanda
Obat antibiotik (Ilustrasi). Untuk mencegah resistensi antimikroba, antibiotik harus digunakan dengan bijak dan tepat guna.
Foto:

Mengapa antibiotik mudah didapat?

Masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa antibiotik adalah obat mujarab bagi segala penyakit. Di sisi lain, tenaga kesehatan pun masih ada yang belum memahami peruntukan antibiotik.

Mengutip survei Protecting Indonesia from the Threat of Antimicrobial Resistance yang terbit di jurnal BMJ Global Health, Prof dr Tri Wibawa PhD SpMK(K) mengatakan, terdapat tiga pola penerimaan antibiotik oleh masyarakat. Pertama, antibiotik diberikan bahkan sebelum orang meminta ke toko obat atau apotek (17 persen), misalnya untuk sakit perut, diare, dan batuk pilek.

"Jadi sebelum minta, sudah diberi terlebih dulu," kata Tri.

Kategori kedua, konsumen yang meminta dan langsung diberikan oleh pihak penjual (48 persen). Terakhir, penjual menolak memberikan antibiotik karena tidak ada resep dokter (31 persen).

"Tidak diberikan karena tidak bawa resep dokter," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada ini.

Secara umum, antibiotik bisa didapatkan di apotek maupun toko obat. Mengapa toko obat mau memberikan antibiotik tanpa adanya resep dokter?

Menurut Tri, hal itu disebabkan beberapa faktor, antara lain karena salah persepsi bahwa antibiotik bisa menyembuhkan segala penyakit. Lalu, penjual tidak punya kualifikasi memadai karena tidak semua toko obat memiliki apoteker.

Selain itu, adanya kompetisi pasar di mana penjual berpikir konsumen bisa mendapatkan antibiotik dari toko lainnya. Penelitian itu dilakukan pada apotek dan toko obat di daerah perkotaan dan pedesaan.

Antibiotik yang paling banyak diberikan ialah lini pertama, seperti amoksisilin dan kotrimoksazol. Meski begitu, ada kekhawatiran bahwa antibiotik lini kedua, termasuk sefalosporin, juga diberikan tanpa resep.

Prof Tri mengatakan, pendekatan multi aspek perlu dilakukan untuk menyelesaikan persoalan resistensi antimikroba. Penguatan implementasi regulasi merupakan salah satu cara mengendalikan peredaran antibotik di masyarakat.

"Perlu juga mempertimbangkan faktor-faktor yang menjadi pendorong praktik penjualan antibotik tanpa resep, seperti motivasi untuk memaksimalkan keuntungan dari toko-toko obat, tingginya permintaan antibiotik dari pelanggan, dan dorongan dari pemilik untuk bersaing dengan toko lainnya," tutur Prof Tri.

Kontribusi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan resistensi antimikroba juga diperlukan. Masyarakat perlu menggunakan antibiotik secara bijak, rasional berdasarkan resep dokter, dan tuntas sesuai petunjuk dokter sehingga angka kesembuhan meningkat dan mencegah kejadian resistansi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement